Ragam Budaya dan Sejarah Kabupaten Kutai Timur
Rabu, 11 Mei 2022
Selasa, 16 Januari 2018
MINYAK BINTANG
Kehidupan suku Dayak terutama yang tinggal di pedalaman Kalimantan masih kental dengan nuansa mistis. hal ini disebabkan karena mereka pada umumnya masih ada yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Diantara salah satu benda mistik yang terkenal di kalangan mereka adalah " Minyak Bintang " atau biasa disebut " Minyak Sambung Nyawa " yang diyakini dapat menyembuhkan luka dan patah tulang walau bagaimanapun parahnya, bahkan konon dapat menghidupkan orang yang baru mati, selama masih ada bintang yang bersinar di malam hari.
Secara fisik minyak bintang itu warna dan bentuknya persis seperti minyak kelapa, namun berbau amis dan busuk. Karena itu untuk mudah menelannya, biasanya minyak bintang itu dioleskan pada kapas lalu dimasukkan ke dalam kapsul obat. Adapun bahan pembuatannya ada beberapa pendapat diantaranya :
a. Berasal dari otak manusia yang terbunuh
b. Berasal dari otak ular piton
c. Berasal dari burung tertentu yang kakinya dipatahkan berulang kali lalu disembelih. Selanjutnya otak atau burung itu dijemur berhari-hari dengan menggantungnya di atas pohon, sampai akhirnya mengeluarkan minyak
d. Berasal dari minyak mustika yang terdapat pada pusar ular piton yang mati. Minyak ini langsung diperoleh dari ular, tanpa melalui proses penjemuran,
Kemudian bahan-bahan tersebut diadakan ritual terhadap minyak itu pada malam hari saat bintang-bintang bercahaya diatas langit serta diucapkan mantera-mantera. Dengan memanggil roh-roh nenek moyang dan meminta kekuatan cahaya bintang untuk itulah makanya minyak ini dinamakan " Minyak Bintang "
BAGAIMANA MINYAK BINTANG ITU BEKERJA ?
Cara pemakaiannya, untuk luka-luka ringan cukup dioleskan pada luka tersebut, sedangkan untuk luka parah, atau patah-patah tulang, minyak tersebut harus ditelan. jika korban tidak sadarkan diri (tidak bisa menelan) maka minyak tersebut diteteskan kemulutnya agar tertelan. Untuk menghidupkan orang yang mati terbunuh, bukan karena mati biasa juga diteteskan ke mulutnya. Malam hari ketika bintang sudah ada yang bersinar, maka minyak itu mulai bekerja, dan untuk korban patah tulang, ia akan menjerit-jerit kesakitan dan terdengar bunyi tulang-tulang yang sedang dibetulkan dari dalam. Sedangkan korban luka yang menelan minyak itu lidahnya menjulur memanjang lalu menjilati lukanya, setelah itu langsung tertutup seperti tidak pernah terluka.
ORANG YANG MENELAN MINYAK BINTANG SUSAH UNTUK MATI ?
Orang yang menelan minyak bintang semasa hidupnya, tubuhnya akan kebal dari berbagai senjata tajam dan tumpul. Dan ketika ajalnya telah tiba, secara medis ia telah mati, namun beberapa anggota tubuhnya masih ada yang bergerak, seperti masih hidup. Karena itu biasanya orang yang sudah menelan minyak bintang ini setelah selesai proses pengobatan akan mengeluarkan minyak tersebut dengan menelan pisang emas, labu putih, atau berbagai benda lainnya yang dianggap bisa mengeluarkan minyak tersebut dari tubuhnya. Jika dia sudah dalam kondisi sekarat, biasanya pihak keluarganya akan menusuk ibu jari kakinya dengan jarum emas hingga mengeluarkan darah hitam. setelah itu dia baru bisa dikuburkan dan tidak akan bangkit lagi dari kuburnya.
MINYAK BINTANG ITU MEMBAWA SIAL
Jika disimpan di dalam rumah, diyakini minyak itu membawa sial bagi penghuninya, seperti usaha bangkrut, sering menderita sakit dan sebagainya. Selain itu minyak itu akan kering dan kehilangan khasiat jika ada orang yang meninggal di rumah itu, namun tidak pernah berkurang walaupun beberapa kali dipakai. Karena itu biasanya minyak bintang disimpan di luar rumah.
Diantara salah satu benda mistik yang terkenal di kalangan mereka adalah " Minyak Bintang " atau biasa disebut " Minyak Sambung Nyawa " yang diyakini dapat menyembuhkan luka dan patah tulang walau bagaimanapun parahnya, bahkan konon dapat menghidupkan orang yang baru mati, selama masih ada bintang yang bersinar di malam hari.
Secara fisik minyak bintang itu warna dan bentuknya persis seperti minyak kelapa, namun berbau amis dan busuk. Karena itu untuk mudah menelannya, biasanya minyak bintang itu dioleskan pada kapas lalu dimasukkan ke dalam kapsul obat. Adapun bahan pembuatannya ada beberapa pendapat diantaranya :
a. Berasal dari otak manusia yang terbunuh
b. Berasal dari otak ular piton
c. Berasal dari burung tertentu yang kakinya dipatahkan berulang kali lalu disembelih. Selanjutnya otak atau burung itu dijemur berhari-hari dengan menggantungnya di atas pohon, sampai akhirnya mengeluarkan minyak
d. Berasal dari minyak mustika yang terdapat pada pusar ular piton yang mati. Minyak ini langsung diperoleh dari ular, tanpa melalui proses penjemuran,
Kemudian bahan-bahan tersebut diadakan ritual terhadap minyak itu pada malam hari saat bintang-bintang bercahaya diatas langit serta diucapkan mantera-mantera. Dengan memanggil roh-roh nenek moyang dan meminta kekuatan cahaya bintang untuk itulah makanya minyak ini dinamakan " Minyak Bintang "
BAGAIMANA MINYAK BINTANG ITU BEKERJA ?
Cara pemakaiannya, untuk luka-luka ringan cukup dioleskan pada luka tersebut, sedangkan untuk luka parah, atau patah-patah tulang, minyak tersebut harus ditelan. jika korban tidak sadarkan diri (tidak bisa menelan) maka minyak tersebut diteteskan kemulutnya agar tertelan. Untuk menghidupkan orang yang mati terbunuh, bukan karena mati biasa juga diteteskan ke mulutnya. Malam hari ketika bintang sudah ada yang bersinar, maka minyak itu mulai bekerja, dan untuk korban patah tulang, ia akan menjerit-jerit kesakitan dan terdengar bunyi tulang-tulang yang sedang dibetulkan dari dalam. Sedangkan korban luka yang menelan minyak itu lidahnya menjulur memanjang lalu menjilati lukanya, setelah itu langsung tertutup seperti tidak pernah terluka.
ORANG YANG MENELAN MINYAK BINTANG SUSAH UNTUK MATI ?
Orang yang menelan minyak bintang semasa hidupnya, tubuhnya akan kebal dari berbagai senjata tajam dan tumpul. Dan ketika ajalnya telah tiba, secara medis ia telah mati, namun beberapa anggota tubuhnya masih ada yang bergerak, seperti masih hidup. Karena itu biasanya orang yang sudah menelan minyak bintang ini setelah selesai proses pengobatan akan mengeluarkan minyak tersebut dengan menelan pisang emas, labu putih, atau berbagai benda lainnya yang dianggap bisa mengeluarkan minyak tersebut dari tubuhnya. Jika dia sudah dalam kondisi sekarat, biasanya pihak keluarganya akan menusuk ibu jari kakinya dengan jarum emas hingga mengeluarkan darah hitam. setelah itu dia baru bisa dikuburkan dan tidak akan bangkit lagi dari kuburnya.
MINYAK BINTANG ITU MEMBAWA SIAL
Jika disimpan di dalam rumah, diyakini minyak itu membawa sial bagi penghuninya, seperti usaha bangkrut, sering menderita sakit dan sebagainya. Selain itu minyak itu akan kering dan kehilangan khasiat jika ada orang yang meninggal di rumah itu, namun tidak pernah berkurang walaupun beberapa kali dipakai. Karena itu biasanya minyak bintang disimpan di luar rumah.
Rabu, 06 Desember 2017
PUTERI KARANG MELENU
Tersebutlah sebuah kisah mengenai Petinggi Hulu Dusun dengan isterinya Bahu Jaruma yang membuka tanah pehumaan di Kampung Melanti. Sudah berpuluh tahun mereka terikat dalam perkawinan, namun sampai Babu Jaruma mencapai usia yang sangat tinggi belum saja mendapat anak. Mengingat usia sang puteri yang sudah lanjut, maka Petinggi Hulu Dusun sudah putus harapan yang dikandungnya berpuluh-puluh tahun untuk mendapatkan anak sebagai penyambung keturunan yang memerintah di negeri Hulu Dusun.
Pada suatu hari keadaan cuaca di Hulu Dusun sangat buruknya, meskipun pada pagi harinya mulanya cerah, akan tetapi dengan tiba-tiba terjadilah perubahan yang menakutkan penduduk. Pagi yang mulanya cerah tiba-tiba menjadi gelap gulita, seakan-akan telah terjadi gerhana matahari. Hujan lebat dan badai dahsyat bermain-main di dunia yang gelap gulita dengan diiringi tingkah oleh kilat dan guntur yang sambung-menyambung.
Apakah ini suatu tanda bahwasanya di dunia akan kiamat? Demikianlah pikiran yang berkecamuk dalam benak penduduk, tidak terkecuali juga pikiran yang demikian itu melintas dalam pikiran Petinggi Hulu Dusun dan istrinya. Apalagi keadaan yang demikian itu terjadi selama tujuh hari tujuh malam sehingga tidak seorangpun yang berani keluar rumah untuk berkebun atau ke huma. Bagi penduduk yang tidak tersedia makanan di rumahnya untuk sekan hari itu terpaksa menanggung lapar. Keluar rumah takut disambar petir. Dan tidak satupun dari penduduk Hulu Dusun yang mau mati konyol disambar petir, lebih baik menanggung kelaparan dalam rumah dan kalau mau mati, maka matilah seisi rumah.
pada hari ketujuh Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma pergi ke dapur untuk mencari sisa-sisa makanan yang mungkin masih bisa dimanfaatkan untuk sekedar bisa menyambung hidup. syukurlah masih ada bahan-bahan yang dapat dimasak, akan tetapi malang tidak ada sebiji kayu apipun yang tersisa untuk menanak beras.
Akhirnya dengan terpaksa sang Petinggi mengambil parangnya dan meotong sebuah kasau rumah untuk dijadikan kayu api. Kasau itu dibelah-belahnya sehingga menjadi beberapa biji kayu api. Tiba-tiba dari belahan kayu api itu dilihatnya seekor ular kecil sedang melingkar, yang memandang kepada Petinggi dengan matanya putih yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara
Segera Babu Jaruma diberitahukannya dan tatkala sang isteri melihat ular tersebut, terbitlah kasihnya yang mendalam dan meminta kepada suaminya agar ular tersebut duambil dan dipelihara di dalam tempat sirihnya.
Pada saat ular itu mau diambil, maka keajaibanpun timbul. Alam yang mulanya menggila dengan tiba-tiba mereda kembali. Cuaca menjadi cerah, cahaya mentari memancarkan cahayanya, menyedot warna-warninya, bunga-bungaan kelihatan mekar menantang gadis-gadis dan pemuda Hulu Dusun untuk menikmati keindahan alam dan mereka keluar bersuka ria dan saling berpandangan dan melempar senyum dari jarah jauh, karena adat tidak menginjinkan gadis dan jejaka saling bertegur sapa sebelum mereka diikat oleh perkawinan
Ular yang diketemukan dalam kasau tadi dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh Bambu Jaruma. Setiap harinya diberi makan, setiap saat dibelainya dengan penuh rasa kasih sayang dan diajaknya bermain-main. Tiap hari ular itu semakin besar dan akhirnya tempat sirih itu sudah tidak muat lagi untuk ditempati seluruh tubuhnya. Babu Jaruma pun mencari tempat yang lebih besar dan ular tersebut dipindahkan kesana. Tapi kenyataannya ular tersebut makin bertumbuh sehingga tempat tersebut pun tidak memenuhi syarat pula untuk tempat ular itu.
Akhirnya oleh Petinggi Hulu Dusun dibuatnyalah sebuah kandang yang besarnya setengah dari ruangan tengah rumahnya. ular tersebut bertumbuh terus, semakin besar dan akhirnya bukan merupakan seekor ular lagi akan tetapi merupakan seekor naga.
Petinggi menjadi khawatir dan berkatalah dia kepada istrinya : "Apakah yang harus kita perbuat, anak kita semakin besar dan akhirnya bisa menyesaki rumah kita ini, aku menjadi takut ". Babu Jaruma pun menjawab : " akupun juga menjadi takut, meskipun aku telah memeliharanya sejak sebagai seekor ular sampai menjadi seekor naga ". Keduanya masgul dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Pada suatu malam sang Petinggi Hulu Dusun yang tidur disisi naga itu bermimpi berjumpa dengan seorang gadis yang cantik jelita, yang tidak ada bandingannya dari gadis Hulu Dusun yang pernah dilihatnya.
Dengan ketawanya yang manis dimana terlihat barisan gigi yang putih bersih menghiasa wajahnya yang cerah, gadis menyapa Petinggi : " Ayo ayah dan bundaku tersayang, ananda sudah besar sehingga membawa ketakutan bagi ayah dan ibu serta penduduk disini. Sebaiknya ananda meninggalkan tempat ini. Untuk itu buatkanlah tangga, dimana ananda bisa meluncur kebawah ".
Paginya Petinggi segera bangun dan teringat terus akan mimpi itu. Segera diberitahukannya Babu Jaruma tentang mimpi itu. Kedua laki istri itupun mengumpulkan sanak keluarganya terdekat, kemudian berembuklah mereka bagaimana cara bagaimana membuat tangga yang diminta gadis jelita yang menjumpainya dalam mimpi itu.
Maka dibuatnyalah tangga dari kayu yang besar-besar dan anak-anak tangganya diikat dengan rotan yang kuat. Setelah tangga itu dipasang dimuka pintu rumah, Petinggipun mendekati naga sambil berkata " Wahai anakku tangga sudah selesai, sebaiknya engkau turun sekarang ".
Mendengar perkataan ini, maka sang naga menggerakkan kepalanya menjulur melewati ambang pintu dan hendaknya mulai merayap turun melewati tangga itu. Akan tetapi tangga itu berpatahan. sang nagapun menarik masuk kembali kepalanya dan melingkar kembali ketempat semula.
Melihat bahwa tangga yang dibuat itu kurang kuat, maka Petinggi pun menyuruh sanak keluarganya membuat tangga baru yang bahannya terbuat dari kayu ulin. Sesudah selesai maka dipersilahkannya lagi sang naga untuk menuruni tangga itu, akan tetapi tangga itu sama dengan tangga sebelumnya, hancur tidak dapat menahan berat badan dari sang naga.
Malam berikutnya sang Petinggi mendapat mimpi lagi, bahwasanya sang naga mengharap agar dia dapat diturunkan. Kata sang naga : " Buatkanlah tangga dari kayu lampung, sedangkan anak tangganya hendaknya dibuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Tangga yang dibuat dari bahan lain, meski dibuat dari besipun tidak sanggup menahan berat badanku. Bilamana ananda telah dapat turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap.
Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hirang serta taburi aku dengan beras kuning. Jika aku merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan diriku kedalam air, maka ananda harapkam agar ayah dan bunda mengiringi buihku ".
Keesokan harinya Petinggipun memerintahkan kepada anak buahnya untuk mencari bahan-bahan sebagaimana yang disampaikan anaknya dalam mimpi itu untuk membuat tangga. Setelah tangga selesai dibuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dalam mimpi, maka Petinggi pun berkatalah kepada sang naga : " Hai anakku marilah turuni tangga yang telah dibuat berdasarkan petunjukmu ".
Sang nagapun mengangkat kepalanya, kemudian merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju sungai dengan diiringi Petinggi Hulu Dusun disertai istrinya Babu Jaruma. Setelah sampai di air berenanglah sang naga berturut-turut tujuh kali ke arah hulu, kemudian tujuh kali ke arah ke hilir dan seterusnya berenang melalui Tepian Batu, sng naga kemudian tiga kali ke kanan dan selanjutnya menyelam masuk air.
Setelah sang naga tenggelam maka dengan tiba-tiba angin topan bertiup dengan dahsyatnya, kilat sambung-menyambung dengan mengerikan, guntur berdentum melebihi dahsyatnya suara meriam, gelombang besar mempermainkan perahu Petinggi. Petinggi dengan istrinya berkayuh sekuat tenaga untuk mencapai tepi, menghindari tenggelam digulung oleh gelombang.
Setibanya ditepi sungai, maka keadaan alam yang bagaikan kiamat tadi dengan tiba-tiba mereda, hanya hujan turun dengan rintik,angin bertiup dingin dan lembab guruh terdengar jauh sayup-sayup, teja menampakkan diri di langit keabu-abuan, pelangi membentang ke bumi dengan warna-warni yang cerah dan menyegarkan. Oh alangkah indahnya alam dilihat oleh Petinggi Hulu Dusun dengan Babu Jaruma. Mereka dua laki isteri terpesona melihat keindahan alam yang belum pernah dijumpainya selama mereka hidup, apa pula mereka baru mengalami suatu keadaan alam yang menggila seakan-akan untuk meniadakan mereka dari permukaan bumi ini. Pertanda apakah ini sebenarnya? Dan kemanakah sang naga yang merupakan anaknya, yang dipeliharanya sejak berbentuk sebagai ular, yang selalu dibelainya dengan kasih sayang, yang selalu dicumbuinya dengan kata-kaya yang manis? Kemanakah sang naga itu?
Sedang Petinggi dengan istrinya termenung memikirkan anak itu, maka dengan tiba-tiba Sungai Mahakam penuh dengan buih, sayup-sayup mata memandang hanya buih belaka yang kelihatan, demikian pula disekitar perahunya tidak kelihatan lagi air, seakan-akan dia berlayar diatas buih yang memutih bersih.
Petinggi dan Babu Jaruma berusaha untuk mengayuh perahunya secepat mungkin memasuki anak sungai Sudiwo, sedang mereka mengayuh sekuat tenagai itu, maka tiba-tiba terdengarlah dengan jelas di telinga Petinggi dan istrinya suara tangis bayi yang baru lahir, tertegunlah mereka dengan kedua-duanya, sambil menengok kesana dan kesini meneliti diantara buih menyusuri tangis bayi yang didengarnya. Tiba-tiba pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air. Kemudian nampak pula awan berarak ke atas buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air, kemudian nampak pula awan berarak keatas buih yang meninggi itu, seakan-akan memayungi dari pancaran sinar matahari, terlihat pula ditepi sungai di sekitar buih itu bunga-bunga bermekaran dan mengirimkan bau harumnya di sekitar tempat itu.
Babu Jaruma melihat di dalam buih itu seperti kemala yang berkilau-kilauan. Babu Jaruma memberitahukan suaminya, dan merekapun mengayuhkan perahunya menuju kemala itu, Setelah perahu makin mendekat, maka jelaslah apa yang dilihat itu buknlah sebuah kemala, akan tetapi seorang bayi yang bercahaya-cahaya terbaring di dalam gong. Tiba-tiba gong itu meninggi dan tampaklah nyata ada seekor naga yang menjunjung gong berisikan bayi itu. Semakin gong dan naga meninggi naik dari permukaan air terlihat pula seekor lembu yang menjunjung naga itu, lembu itu berjejak diatas sebuah batu.
Inilah " Lembu Suana " yang bentuknya tidak serupa dengan lembu yang ada selama ini, yang pernah dilihat oleh Petinggi bwersama istrinya Babu Jaruma. Lembu Suana ini berbelai gading seperti gajah, bertaring seperti macan, bertubuh sebagai kuda, bersayap dan bertaji seakan-akan garuda, berekor seperti naga, seluruh batang tubuhnya bersisik.
Melihat Lembu Swana ini maka hilanglah rasa takut kedua laki dan istri ini, bukankah binatang semacam ini tunggangan anak-anak dari Dewata? Apakah bayi yang terbaring didalam gong itu dengan demikian turunan Dewata yang dikirim ke dunia untuk dipelihara oleh Babu Jaruma, sebagai pengganti naga yang dipeliharanya dengan kasih sayang? Oh alangkah bahagianya kedua orang tua ini.
Perahu petinggi segera merapat pada batu dimana Lembu Swana itu berpijak, yang kemudian dengan perlahan-lahan batu itu tenggelam beserta Lembu Swanadan Naga sampai akhirnya yang tertinggal kelihatan hanya gong yang berisikan bayi dari kayangan itu. Babu Jaruma degan tangkas mengambil gong beserta bayi itu dan sesudah dapat dimasukkan ke dalam perahu. Bergegaslah kedua laki isteri itu berkayuh ketepian dengan suka citanya. Bayi tersebut diselimuti dengan kain kuning, lampinnya terdiri dari kain beraneka warna. Tangan kanannya memegang emas, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah telor. Sebelum perahu sampai ke tepian sungai, telor itupun pecah dan keluarlah seekor anak ayam betina.
Babu Jaruma sangat prihatin, karena teteknya tidak mengeluarkan air susu, bagaimanapun juga diperasnya pangkal teteknya namun tidak ada setetes airpun yang keluar, dan diapun putus asa sedangkan sang bayi menangis kelaparan.
Pada malam harinya sedang ia terlena, terdengarlah suara yang tegas ditajukan kepada Babu Jaruma "Hai Babu Jaruma, janganlah engkau susah hati, tepuklah susumu yang sebelah kanan, niscaya susumu akan memancar" Mendengar ini maka dicobalah untuk menepuk susunya yang sebelah kanan dan dengan tiba-tiba keluarlahair susu yang harum baunya seperti buah ambar dan kasturi. Sangatlah sukacitanya Babu Jaruma dan sang bayipun mulailah disusuinya sepuas-puasnya. sang bayi berhenti menangis dan tertidur, Babu Jaruma tertidur dengan wajah tersenyum. Petinggi Hulu Dusun memandang keadaain ini merasa bahagia, lalu membaringkan dirinya disisi Babu Jaruma, pikirannya menerawang jauh hatinya bersyukur kepada para Dewata di kayangan, karena cita-citanya terkabul untuk mendapatkan seorang anak. Akhirnya Petinggi tertidur dengan pulasnya sambil mendengkur sehebat-hebatnya.
Dikala Petinggi mendengkur ini, Babu Jaruma bermimpi mendengar suara yang ditujukan kepadanya "Hai Babu Jaruma yang berbahagia, anakmu itu supaya dipelihara dengan sebaik-baiknya dan berilah dia nama PUTERI KARANG MELENU, puteri ini adalah keturunan dari Dewa-Dewa di kayangan, sama dengan Puteri Junjung Buih dari daerah Banjar. Oleh karena itu Puteri Karang Melenu dapat juga diberi nama PUTERI JUNJUNG BUYAH.
" Dengarkanlah bagaimana engkau seharusnya memelihara puteri ini, selama empat puluh hari empat puluh malam janganlah Puteri Karang Melenu ini dibaringkan diatas tikar. Bilamana sesudah tiga hari tali pusatnya putus maka perlakukanlah dia seperti anak dari para raja yang berkuasa di alam maya ini. Bilamana sang puteri untuk pertama kali ingin mandi di sungai, maka hendaklah engkau mengadakan erau (pesta adat) dan pada upacara tijak tanah, maka sebelum kakinya menginjak tanah terlebih dahulu pijakkanlah kakinya kepada kepala manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. demikian juga sebelumnya dipijakkan kaki sang Puteri kepada kernbau hidup dan kerbau mati dan selanjutnya dipijakkan kepada besi. Barulah sesudah itu sang puteri dapat dijalankan di tanah ".
Dengan lenyapnya suara itu, maka terbangunlah Babu Jaruma dari tidurnya, segera dibangunkannya suaminya yang sedang tidur mendengkur itu dan kemudian diceritakannya apa yasng dialaminya di dalam mimpi.
" Jika demikian halnya, maka pesan dalam mimpi itu harus kita taati mulai sekarang ", demikian kata Petinggi Hulu Dusun
Setelah genaplah tiga hari tiga malam, maka tanggallah tali pusat Puteri Karang Melenu. Eraupun mulai dilaksanakan dengan meriah, beberapa puluh binatang disembelih, antara lain babi, kerbau, sapi kijang, menjangan, kambing, gimbal, itik dan angsa. Ramailah orang sekampung makan minum, ada yang sampai termuntah-muntah kekenyangan, banyak terkapar bergelimpangan karena mabuk minum tuak yang disediakan berpuluh-puluh tempayan.
Setelah tiga hari maka dengan penuh khidmat sang anakpun diberi nama Puteri Karang Melenu sesuai dengan pesan yang diperoleh dalam mimpi oleh Babu Jaruma. Suara gong dan gendang pada waktu pemberian nama ini, membuat Hulu Dusun gegap gempita, hingar bingar. Gamelan Eyang
Ayu dibunyikan meningkah bunyi gong dan gendang itu. Semua penduduk Hulu Dusun bergembira ria. Gadis-gadis dan para pria mengenakan pakaiannya yang sebaik-baiknya yang ada dalam simpanannya. Bunga melati dan bunga telur menghiasi gelung-gelung rambut dan ada pula yang menyisipkannya diantara daun telinga.
Mereka menari-nari terpisah-pisah, akan tetapi pandangan mata tidak bisa dilepaskan menatap kepada pilihan hatinya masing-masing. Banyak pilihan hati yang sama ditujukan kepada seorang saja dan sipilihan hati ini melayani semua pemujanya dengan melemparkan senyum kesana-kemari sehingga mereka saling cemburu-mencemburui. tapi meskipun sudah terlapis demikian ini masing0masing mengharapkan bahwa pilihan si gadis akhirnya kepada seorang. Oh, hati yang sedang bercinta.
Pada saat diadakannya erau berhubung terputusnya tali pusat dan pemberian nama Puteri Karang Melenu dari Hulu Dusun ini, tepat pada waktu itu juga Petinggi Jaitan Layar mengadakan upacara yang serupa, yakni tanggal tali pusat dan pemberian nama pada anaknya Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dikampung Jaitan Layarpun gong dan gendang dipukul orang bertalu-talu, gamelan gajah perwata dibunyikan.
Pria wanita menari dipisahkan, sambil matal liar mencari pilihan hatinya. demikianlah kedua anak kiriman dari para anak Dewa di kayangan untuk Petinggi Jaitan Layar dan Petinggi Hulu Dusun
sama-sama bertumbuh menjadi besar, masing-masing dipelihara secermat-cermatnya disedakan ramuan obat-obatan untuk menjaga agar sang anak tetap dalam kandungan sehat wal afiat, anak Petinggi Jaitan Layar bertumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan gagah, sedangkan anak Petinggi Hulu Dusun bertumbuh sebagai anak perempuan yang cantik manis. Meskipun keduanya masih kanak-kanak namun keelokan wajahnya terlihat dengan nyata, berlainan dengan pertumbuhan dengan anak-anak biasa.
Sesudah Puteri Karang Melenu menginjak usia lima tahun, maka sukarlah orang untuk menahannya tetap tinggal di dalam rumah, sang Puteri selalu bermain di tanah dan ingin mandi-mandi di sungai. Sesuai dengan pesan yang disampaikan kepada Babu Jaruma, maka Petinggi Hulu Dusun mulailah mengadakan persiapan-persiapan pesta pijak tanah untuk anaknya Puteri Karang Melenu.
Beberapa Petingi beserta orang-orang besar dari negeri-negeri yang berdekatan di undang untuk menghadiri upacara tijak tanah itu, yaitu dari Binalu, Sembaran, Penyangan, Senawan, Sangan, Kembang, Sungai Samir, Dundang, Manggir, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang dan Tanah Malang. Setiap penduduk Hulu Dusun sudah dibagi-bagikan pekerjaan apa yang harus dilakukannya untuk melaksnaakan upacara tijak tanah ini, baik wanita maupun pria. Untuk keperluan
Pada saat ular itu mau diambil, maka keajaibanpun timbul. Alam yang mulanya menggila dengan tiba-tiba mereda kembali. Cuaca menjadi cerah, cahaya mentari memancarkan cahayanya, menyedot warna-warninya, bunga-bungaan kelihatan mekar menantang gadis-gadis dan pemuda Hulu Dusun untuk menikmati keindahan alam dan mereka keluar bersuka ria dan saling berpandangan dan melempar senyum dari jarah jauh, karena adat tidak menginjinkan gadis dan jejaka saling bertegur sapa sebelum mereka diikat oleh perkawinan
Ular yang diketemukan dalam kasau tadi dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh Bambu Jaruma. Setiap harinya diberi makan, setiap saat dibelainya dengan penuh rasa kasih sayang dan diajaknya bermain-main. Tiap hari ular itu semakin besar dan akhirnya tempat sirih itu sudah tidak muat lagi untuk ditempati seluruh tubuhnya. Babu Jaruma pun mencari tempat yang lebih besar dan ular tersebut dipindahkan kesana. Tapi kenyataannya ular tersebut makin bertumbuh sehingga tempat tersebut pun tidak memenuhi syarat pula untuk tempat ular itu.
Akhirnya oleh Petinggi Hulu Dusun dibuatnyalah sebuah kandang yang besarnya setengah dari ruangan tengah rumahnya. ular tersebut bertumbuh terus, semakin besar dan akhirnya bukan merupakan seekor ular lagi akan tetapi merupakan seekor naga.
Petinggi menjadi khawatir dan berkatalah dia kepada istrinya : "Apakah yang harus kita perbuat, anak kita semakin besar dan akhirnya bisa menyesaki rumah kita ini, aku menjadi takut ". Babu Jaruma pun menjawab : " akupun juga menjadi takut, meskipun aku telah memeliharanya sejak sebagai seekor ular sampai menjadi seekor naga ". Keduanya masgul dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Pada suatu malam sang Petinggi Hulu Dusun yang tidur disisi naga itu bermimpi berjumpa dengan seorang gadis yang cantik jelita, yang tidak ada bandingannya dari gadis Hulu Dusun yang pernah dilihatnya.
Dengan ketawanya yang manis dimana terlihat barisan gigi yang putih bersih menghiasa wajahnya yang cerah, gadis menyapa Petinggi : " Ayo ayah dan bundaku tersayang, ananda sudah besar sehingga membawa ketakutan bagi ayah dan ibu serta penduduk disini. Sebaiknya ananda meninggalkan tempat ini. Untuk itu buatkanlah tangga, dimana ananda bisa meluncur kebawah ".
Paginya Petinggi segera bangun dan teringat terus akan mimpi itu. Segera diberitahukannya Babu Jaruma tentang mimpi itu. Kedua laki istri itupun mengumpulkan sanak keluarganya terdekat, kemudian berembuklah mereka bagaimana cara bagaimana membuat tangga yang diminta gadis jelita yang menjumpainya dalam mimpi itu.
Maka dibuatnyalah tangga dari kayu yang besar-besar dan anak-anak tangganya diikat dengan rotan yang kuat. Setelah tangga itu dipasang dimuka pintu rumah, Petinggipun mendekati naga sambil berkata " Wahai anakku tangga sudah selesai, sebaiknya engkau turun sekarang ".
Mendengar perkataan ini, maka sang naga menggerakkan kepalanya menjulur melewati ambang pintu dan hendaknya mulai merayap turun melewati tangga itu. Akan tetapi tangga itu berpatahan. sang nagapun menarik masuk kembali kepalanya dan melingkar kembali ketempat semula.
Melihat bahwa tangga yang dibuat itu kurang kuat, maka Petinggi pun menyuruh sanak keluarganya membuat tangga baru yang bahannya terbuat dari kayu ulin. Sesudah selesai maka dipersilahkannya lagi sang naga untuk menuruni tangga itu, akan tetapi tangga itu sama dengan tangga sebelumnya, hancur tidak dapat menahan berat badan dari sang naga.
Malam berikutnya sang Petinggi mendapat mimpi lagi, bahwasanya sang naga mengharap agar dia dapat diturunkan. Kata sang naga : " Buatkanlah tangga dari kayu lampung, sedangkan anak tangganya hendaknya dibuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Tangga yang dibuat dari bahan lain, meski dibuat dari besipun tidak sanggup menahan berat badanku. Bilamana ananda telah dapat turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap.
Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hirang serta taburi aku dengan beras kuning. Jika aku merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan diriku kedalam air, maka ananda harapkam agar ayah dan bunda mengiringi buihku ".
Keesokan harinya Petinggipun memerintahkan kepada anak buahnya untuk mencari bahan-bahan sebagaimana yang disampaikan anaknya dalam mimpi itu untuk membuat tangga. Setelah tangga selesai dibuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dalam mimpi, maka Petinggi pun berkatalah kepada sang naga : " Hai anakku marilah turuni tangga yang telah dibuat berdasarkan petunjukmu ".
Sang nagapun mengangkat kepalanya, kemudian merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju sungai dengan diiringi Petinggi Hulu Dusun disertai istrinya Babu Jaruma. Setelah sampai di air berenanglah sang naga berturut-turut tujuh kali ke arah hulu, kemudian tujuh kali ke arah ke hilir dan seterusnya berenang melalui Tepian Batu, sng naga kemudian tiga kali ke kanan dan selanjutnya menyelam masuk air.
Setelah sang naga tenggelam maka dengan tiba-tiba angin topan bertiup dengan dahsyatnya, kilat sambung-menyambung dengan mengerikan, guntur berdentum melebihi dahsyatnya suara meriam, gelombang besar mempermainkan perahu Petinggi. Petinggi dengan istrinya berkayuh sekuat tenaga untuk mencapai tepi, menghindari tenggelam digulung oleh gelombang.
Setibanya ditepi sungai, maka keadaan alam yang bagaikan kiamat tadi dengan tiba-tiba mereda, hanya hujan turun dengan rintik,angin bertiup dingin dan lembab guruh terdengar jauh sayup-sayup, teja menampakkan diri di langit keabu-abuan, pelangi membentang ke bumi dengan warna-warni yang cerah dan menyegarkan. Oh alangkah indahnya alam dilihat oleh Petinggi Hulu Dusun dengan Babu Jaruma. Mereka dua laki isteri terpesona melihat keindahan alam yang belum pernah dijumpainya selama mereka hidup, apa pula mereka baru mengalami suatu keadaan alam yang menggila seakan-akan untuk meniadakan mereka dari permukaan bumi ini. Pertanda apakah ini sebenarnya? Dan kemanakah sang naga yang merupakan anaknya, yang dipeliharanya sejak berbentuk sebagai ular, yang selalu dibelainya dengan kasih sayang, yang selalu dicumbuinya dengan kata-kaya yang manis? Kemanakah sang naga itu?
Sedang Petinggi dengan istrinya termenung memikirkan anak itu, maka dengan tiba-tiba Sungai Mahakam penuh dengan buih, sayup-sayup mata memandang hanya buih belaka yang kelihatan, demikian pula disekitar perahunya tidak kelihatan lagi air, seakan-akan dia berlayar diatas buih yang memutih bersih.
Petinggi dan Babu Jaruma berusaha untuk mengayuh perahunya secepat mungkin memasuki anak sungai Sudiwo, sedang mereka mengayuh sekuat tenagai itu, maka tiba-tiba terdengarlah dengan jelas di telinga Petinggi dan istrinya suara tangis bayi yang baru lahir, tertegunlah mereka dengan kedua-duanya, sambil menengok kesana dan kesini meneliti diantara buih menyusuri tangis bayi yang didengarnya. Tiba-tiba pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air. Kemudian nampak pula awan berarak ke atas buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air, kemudian nampak pula awan berarak keatas buih yang meninggi itu, seakan-akan memayungi dari pancaran sinar matahari, terlihat pula ditepi sungai di sekitar buih itu bunga-bunga bermekaran dan mengirimkan bau harumnya di sekitar tempat itu.
Babu Jaruma melihat di dalam buih itu seperti kemala yang berkilau-kilauan. Babu Jaruma memberitahukan suaminya, dan merekapun mengayuhkan perahunya menuju kemala itu, Setelah perahu makin mendekat, maka jelaslah apa yang dilihat itu buknlah sebuah kemala, akan tetapi seorang bayi yang bercahaya-cahaya terbaring di dalam gong. Tiba-tiba gong itu meninggi dan tampaklah nyata ada seekor naga yang menjunjung gong berisikan bayi itu. Semakin gong dan naga meninggi naik dari permukaan air terlihat pula seekor lembu yang menjunjung naga itu, lembu itu berjejak diatas sebuah batu.
Inilah " Lembu Suana " yang bentuknya tidak serupa dengan lembu yang ada selama ini, yang pernah dilihat oleh Petinggi bwersama istrinya Babu Jaruma. Lembu Suana ini berbelai gading seperti gajah, bertaring seperti macan, bertubuh sebagai kuda, bersayap dan bertaji seakan-akan garuda, berekor seperti naga, seluruh batang tubuhnya bersisik.
Melihat Lembu Swana ini maka hilanglah rasa takut kedua laki dan istri ini, bukankah binatang semacam ini tunggangan anak-anak dari Dewata? Apakah bayi yang terbaring didalam gong itu dengan demikian turunan Dewata yang dikirim ke dunia untuk dipelihara oleh Babu Jaruma, sebagai pengganti naga yang dipeliharanya dengan kasih sayang? Oh alangkah bahagianya kedua orang tua ini.
Perahu petinggi segera merapat pada batu dimana Lembu Swana itu berpijak, yang kemudian dengan perlahan-lahan batu itu tenggelam beserta Lembu Swanadan Naga sampai akhirnya yang tertinggal kelihatan hanya gong yang berisikan bayi dari kayangan itu. Babu Jaruma degan tangkas mengambil gong beserta bayi itu dan sesudah dapat dimasukkan ke dalam perahu. Bergegaslah kedua laki isteri itu berkayuh ketepian dengan suka citanya. Bayi tersebut diselimuti dengan kain kuning, lampinnya terdiri dari kain beraneka warna. Tangan kanannya memegang emas, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah telor. Sebelum perahu sampai ke tepian sungai, telor itupun pecah dan keluarlah seekor anak ayam betina.
Babu Jaruma sangat prihatin, karena teteknya tidak mengeluarkan air susu, bagaimanapun juga diperasnya pangkal teteknya namun tidak ada setetes airpun yang keluar, dan diapun putus asa sedangkan sang bayi menangis kelaparan.
Pada malam harinya sedang ia terlena, terdengarlah suara yang tegas ditajukan kepada Babu Jaruma "Hai Babu Jaruma, janganlah engkau susah hati, tepuklah susumu yang sebelah kanan, niscaya susumu akan memancar" Mendengar ini maka dicobalah untuk menepuk susunya yang sebelah kanan dan dengan tiba-tiba keluarlahair susu yang harum baunya seperti buah ambar dan kasturi. Sangatlah sukacitanya Babu Jaruma dan sang bayipun mulailah disusuinya sepuas-puasnya. sang bayi berhenti menangis dan tertidur, Babu Jaruma tertidur dengan wajah tersenyum. Petinggi Hulu Dusun memandang keadaain ini merasa bahagia, lalu membaringkan dirinya disisi Babu Jaruma, pikirannya menerawang jauh hatinya bersyukur kepada para Dewata di kayangan, karena cita-citanya terkabul untuk mendapatkan seorang anak. Akhirnya Petinggi tertidur dengan pulasnya sambil mendengkur sehebat-hebatnya.
Dikala Petinggi mendengkur ini, Babu Jaruma bermimpi mendengar suara yang ditujukan kepadanya "Hai Babu Jaruma yang berbahagia, anakmu itu supaya dipelihara dengan sebaik-baiknya dan berilah dia nama PUTERI KARANG MELENU, puteri ini adalah keturunan dari Dewa-Dewa di kayangan, sama dengan Puteri Junjung Buih dari daerah Banjar. Oleh karena itu Puteri Karang Melenu dapat juga diberi nama PUTERI JUNJUNG BUYAH.
" Dengarkanlah bagaimana engkau seharusnya memelihara puteri ini, selama empat puluh hari empat puluh malam janganlah Puteri Karang Melenu ini dibaringkan diatas tikar. Bilamana sesudah tiga hari tali pusatnya putus maka perlakukanlah dia seperti anak dari para raja yang berkuasa di alam maya ini. Bilamana sang puteri untuk pertama kali ingin mandi di sungai, maka hendaklah engkau mengadakan erau (pesta adat) dan pada upacara tijak tanah, maka sebelum kakinya menginjak tanah terlebih dahulu pijakkanlah kakinya kepada kepala manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. demikian juga sebelumnya dipijakkan kaki sang Puteri kepada kernbau hidup dan kerbau mati dan selanjutnya dipijakkan kepada besi. Barulah sesudah itu sang puteri dapat dijalankan di tanah ".
Dengan lenyapnya suara itu, maka terbangunlah Babu Jaruma dari tidurnya, segera dibangunkannya suaminya yang sedang tidur mendengkur itu dan kemudian diceritakannya apa yasng dialaminya di dalam mimpi.
" Jika demikian halnya, maka pesan dalam mimpi itu harus kita taati mulai sekarang ", demikian kata Petinggi Hulu Dusun
Setelah genaplah tiga hari tiga malam, maka tanggallah tali pusat Puteri Karang Melenu. Eraupun mulai dilaksanakan dengan meriah, beberapa puluh binatang disembelih, antara lain babi, kerbau, sapi kijang, menjangan, kambing, gimbal, itik dan angsa. Ramailah orang sekampung makan minum, ada yang sampai termuntah-muntah kekenyangan, banyak terkapar bergelimpangan karena mabuk minum tuak yang disediakan berpuluh-puluh tempayan.
Setelah tiga hari maka dengan penuh khidmat sang anakpun diberi nama Puteri Karang Melenu sesuai dengan pesan yang diperoleh dalam mimpi oleh Babu Jaruma. Suara gong dan gendang pada waktu pemberian nama ini, membuat Hulu Dusun gegap gempita, hingar bingar. Gamelan Eyang
Ayu dibunyikan meningkah bunyi gong dan gendang itu. Semua penduduk Hulu Dusun bergembira ria. Gadis-gadis dan para pria mengenakan pakaiannya yang sebaik-baiknya yang ada dalam simpanannya. Bunga melati dan bunga telur menghiasi gelung-gelung rambut dan ada pula yang menyisipkannya diantara daun telinga.
Mereka menari-nari terpisah-pisah, akan tetapi pandangan mata tidak bisa dilepaskan menatap kepada pilihan hatinya masing-masing. Banyak pilihan hati yang sama ditujukan kepada seorang saja dan sipilihan hati ini melayani semua pemujanya dengan melemparkan senyum kesana-kemari sehingga mereka saling cemburu-mencemburui. tapi meskipun sudah terlapis demikian ini masing0masing mengharapkan bahwa pilihan si gadis akhirnya kepada seorang. Oh, hati yang sedang bercinta.
Pada saat diadakannya erau berhubung terputusnya tali pusat dan pemberian nama Puteri Karang Melenu dari Hulu Dusun ini, tepat pada waktu itu juga Petinggi Jaitan Layar mengadakan upacara yang serupa, yakni tanggal tali pusat dan pemberian nama pada anaknya Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dikampung Jaitan Layarpun gong dan gendang dipukul orang bertalu-talu, gamelan gajah perwata dibunyikan.
Pria wanita menari dipisahkan, sambil matal liar mencari pilihan hatinya. demikianlah kedua anak kiriman dari para anak Dewa di kayangan untuk Petinggi Jaitan Layar dan Petinggi Hulu Dusun
sama-sama bertumbuh menjadi besar, masing-masing dipelihara secermat-cermatnya disedakan ramuan obat-obatan untuk menjaga agar sang anak tetap dalam kandungan sehat wal afiat, anak Petinggi Jaitan Layar bertumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan gagah, sedangkan anak Petinggi Hulu Dusun bertumbuh sebagai anak perempuan yang cantik manis. Meskipun keduanya masih kanak-kanak namun keelokan wajahnya terlihat dengan nyata, berlainan dengan pertumbuhan dengan anak-anak biasa.
Sesudah Puteri Karang Melenu menginjak usia lima tahun, maka sukarlah orang untuk menahannya tetap tinggal di dalam rumah, sang Puteri selalu bermain di tanah dan ingin mandi-mandi di sungai. Sesuai dengan pesan yang disampaikan kepada Babu Jaruma, maka Petinggi Hulu Dusun mulailah mengadakan persiapan-persiapan pesta pijak tanah untuk anaknya Puteri Karang Melenu.
Beberapa Petingi beserta orang-orang besar dari negeri-negeri yang berdekatan di undang untuk menghadiri upacara tijak tanah itu, yaitu dari Binalu, Sembaran, Penyangan, Senawan, Sangan, Kembang, Sungai Samir, Dundang, Manggir, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang dan Tanah Malang. Setiap penduduk Hulu Dusun sudah dibagi-bagikan pekerjaan apa yang harus dilakukannya untuk melaksnaakan upacara tijak tanah ini, baik wanita maupun pria. Untuk keperluan
Selasa, 28 November 2017
LAHIRNYA AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI
Tersebutlah dalam hikayat Kutai, bahwasanya Petinggi Jaitan Layar dengan istrinya Nyai Jaitan Layar tinggal di sebuah gunung, ditempat dimana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidupnya sehari-hari, puluhan tahun mereka hidup sebagai suami isteri, namun Dewa di kayangan tidak menganugerahkan seorang anakpun, Sering Petinggi Jaitan Layar beserta istrinya bertapa menyendiri menjauhi kerabatnya dan rakyatnya, memohon kepada Dewata untuk mendapatkan anak, setiap hari dupa setanggi dibakar dan bersemedi dengan khusuknya.
Pada suatu malam sedang mereka tertidur dengan nyenyaknya terdengar suatu suara diluar rumah yang gegap gempita menyentakkan mereka dari tidur diperaduan. Merekapun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah. Apakah yang terlihat oleh kedua laki dan istri ini? Sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah dan pada saat itu malam yang tadinya gelap gulita menjadi terang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta istrinya masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam . Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya : " Sambut mati babu, tiada sambut mati mama ".
Sampai tiga kali suara itu terdengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya demikian : " ulur mati lumus, tiada ulur mati lumus ", kemudian terdengan lagi suara : "Sambut mati babu, tiada sambut mati mama" Kini Petinggi Jaitan Layar tanpa ragu-ragu lagi menjawab : " Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus ". Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata " Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama-sama istrinya menjumpai batu itu, yang ternyata sebuah raga mas. Raga mas itu dibukanya dan betapa terkejutnya Petinggi beserta istrinya tatkala melihat didfalamnya seorang bayi yang diselimuti lampin berwarna kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah dibumi tujuh orang Dewa, yang menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari dewa itu menyapa Petinggi : " Berterima kasihlah kepada Dewata karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim istrimu. Bayi ini adalah keturunan dewa-dewa dari kayangan, karena itu jangan disia-siakan pemeliharaannya, jangan dipelihara sebagai anak manusia biasa".
Jangan bayi keturunan dewa ini diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan iar biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi. Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah sebelum diadakan ERAU (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini haram diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati.
selain daripada itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau mati. Demikian pula bila anak ini pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara Erau (pesta) sebagaimana upacara pada pijak tanah.
Sesudah pesan ini disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh orang Dewa itupun naik kembali ke langit. Petinggi dan istrinya dengan penuh bahagia membawa bayi itu masuk kembali ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang bangkit kasih sayang.
Akan tetapi istri petinggi susah hatinya, karena air susunya tidak meneteskan air susu.apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya.
Akhirnya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghamburkan beras kuning, sambil mereka memanjatkan doanya kepada para Dewa agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya payudaranya diberikan air susu yang harum baunya. setelah selesai berdoa maka terdengarlah suara dari langit : "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usapkanlah payudaramu dengan tanganmu berulang-ulang sampai terpancar air susu dari payudaramu"
Mendengar perintah ini, maka isteri dari Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan dan pada wakti sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek istri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bgaimana anaknya keturunan dari Dewa mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam Nyai jaitan Layar, maka tinggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam " sapu jagat " ditembakkan sebanyak tujuh kali. selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, dialam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.
Maka Petinggi Jaitan Layar pun mempersiapkan Upacara Tijak Tanah dan Upacara Erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinnya. empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata siang malam ditabuh membawa suasana semakin meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka berbagai macam binatang baik betina maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesa dari tujuh orang Dewa yang mengantar Aji Batara Agung Dewa Sakti pada waktu masih jabang bayi kepada Petinggi dua laki istri, yaitu "membunuh" beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk dipijak kepalanya oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti " pada Upacara Tijak Tanah,
kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan.
Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning lalu diarak ke tepian sungai, Di tepi sungai Aji Batara Agung dimandikan dimana kakinya dipijak-pijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria baik orang tua maupun orang muda.
Sesudah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu Gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Pada saat itu di langit gunturpun berbunyi dengan dahsyatnya yang menggoncangkan bumi dan hujan panaspun turun merintik. Tetap keadaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kaski agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya adalah gigi Aji Batara Agung di asah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pestapun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari siih berganti
Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang,keramaian itu berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat, demikian juga hiasan-hiasanrumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagikan kepada rakyat
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata " Tiada siapapun yangdapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak batara dewa-dewa di kayangan ".
selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jaitan Layar berjalan sebagai biasa kembali, masing-masing penduduk melaksanakan pekerjaaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. sementara itu Aji Batara Agung dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan dan berwibawa.
MD.
Pada suatu malam sedang mereka tertidur dengan nyenyaknya terdengar suatu suara diluar rumah yang gegap gempita menyentakkan mereka dari tidur diperaduan. Merekapun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah. Apakah yang terlihat oleh kedua laki dan istri ini? Sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah dan pada saat itu malam yang tadinya gelap gulita menjadi terang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta istrinya masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam . Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya : " Sambut mati babu, tiada sambut mati mama ".
Sampai tiga kali suara itu terdengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya demikian : " ulur mati lumus, tiada ulur mati lumus ", kemudian terdengan lagi suara : "Sambut mati babu, tiada sambut mati mama" Kini Petinggi Jaitan Layar tanpa ragu-ragu lagi menjawab : " Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus ". Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata " Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama-sama istrinya menjumpai batu itu, yang ternyata sebuah raga mas. Raga mas itu dibukanya dan betapa terkejutnya Petinggi beserta istrinya tatkala melihat didfalamnya seorang bayi yang diselimuti lampin berwarna kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah dibumi tujuh orang Dewa, yang menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari dewa itu menyapa Petinggi : " Berterima kasihlah kepada Dewata karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim istrimu. Bayi ini adalah keturunan dewa-dewa dari kayangan, karena itu jangan disia-siakan pemeliharaannya, jangan dipelihara sebagai anak manusia biasa".
Jangan bayi keturunan dewa ini diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan iar biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi. Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah sebelum diadakan ERAU (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini haram diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati.
selain daripada itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau mati. Demikian pula bila anak ini pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara Erau (pesta) sebagaimana upacara pada pijak tanah.
Sesudah pesan ini disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh orang Dewa itupun naik kembali ke langit. Petinggi dan istrinya dengan penuh bahagia membawa bayi itu masuk kembali ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang bangkit kasih sayang.
Akan tetapi istri petinggi susah hatinya, karena air susunya tidak meneteskan air susu.apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya.
Akhirnya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghamburkan beras kuning, sambil mereka memanjatkan doanya kepada para Dewa agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya payudaranya diberikan air susu yang harum baunya. setelah selesai berdoa maka terdengarlah suara dari langit : "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usapkanlah payudaramu dengan tanganmu berulang-ulang sampai terpancar air susu dari payudaramu"
Mendengar perintah ini, maka isteri dari Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan dan pada wakti sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek istri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bgaimana anaknya keturunan dari Dewa mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam Nyai jaitan Layar, maka tinggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam " sapu jagat " ditembakkan sebanyak tujuh kali. selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, dialam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.
Maka Petinggi Jaitan Layar pun mempersiapkan Upacara Tijak Tanah dan Upacara Erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinnya. empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata siang malam ditabuh membawa suasana semakin meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka berbagai macam binatang baik betina maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesa dari tujuh orang Dewa yang mengantar Aji Batara Agung Dewa Sakti pada waktu masih jabang bayi kepada Petinggi dua laki istri, yaitu "membunuh" beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk dipijak kepalanya oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti " pada Upacara Tijak Tanah,
kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan.
Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning lalu diarak ke tepian sungai, Di tepi sungai Aji Batara Agung dimandikan dimana kakinya dipijak-pijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria baik orang tua maupun orang muda.
Sesudah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu Gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Pada saat itu di langit gunturpun berbunyi dengan dahsyatnya yang menggoncangkan bumi dan hujan panaspun turun merintik. Tetap keadaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kaski agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya adalah gigi Aji Batara Agung di asah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pestapun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari siih berganti
Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang,keramaian itu berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat, demikian juga hiasan-hiasanrumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagikan kepada rakyat
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata " Tiada siapapun yangdapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak batara dewa-dewa di kayangan ".
selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jaitan Layar berjalan sebagai biasa kembali, masing-masing penduduk melaksanakan pekerjaaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. sementara itu Aji Batara Agung dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan dan berwibawa.
MD.
Selasa, 29 Agustus 2017
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan ahli linguistik seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 6000 dan 7000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut ini "Daratan Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Secara umum, suku Dayak dapat dikategorikan menjadi 7 rumpun suku berdasarkan asal daerahnya. Dari ketujuh daerah tersebut, terdapat 405 sub-suku dengan bahasa yang berbeda satu sama lain. Selain bahasa yang berbeda, dialek atau logat untuk satu bahasa yang sama juga bisa sangat beragam jika berbeda kampung. Untuk itu Hipwee akan membahas 7 rumpun suku Dayak yang ada di Kalimantan berdasakan kemiripan budaya serta asal daerahnya.
Secara umum, suku Dayak dapat dikategorikan menjadi 7 rumpun suku berdasarkan asal daerahnya. Dari ketujuh daerah tersebut, terdapat 405 sub-suku dengan bahasa yang berbeda satu sama lain. Selain bahasa yang berbeda, dialek atau logat untuk satu bahasa yang sama juga bisa sangat beragam jika berbeda kampung. Untuk itu Hipwee akan membahas 7 rumpun suku Dayak yang ada di Kalimantan berdasakan kemiripan budaya serta asal daerahnya.
1. Dayak Ngaju
Dayak Ngaju (Biaju) merupakan Dayak yang bermukim di daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan atau di daerah Kalimatan Tengah, Kalimatan Selatan, serta Kalimantan Barat bagian selatan. Dayak Ngaju memiliki sub-suku Ngaju, Bakumpai, Katingan, Meratus, Tomun, dll.
Ciri khas dari Dayak Ngaju adalah agama kaharingan yang masih dianut oleh sebagian suku Ngaju, serta upacara Tiwah, atau upacara mengantarkan roh leluhur. Untuk pakaian adat, Dayak Ngaju biasanya menggunakan warna merah sebagai warna dominan, kain atau rompi dari kulit kayu, serta menggunakan bulu burung enggang dan ruai sebagai hiasan kepala.
Pada beberapa tarian adat, kaum wanita Ngaju biasanya juga membawakan tarian dengan menggunakan mandau/parang (contoh : Tari Hetawang Hakangkalu), hal ini berbeda dari wanita sub-suku Dayak lainnya. Selain itu, alat musik tradisional Dayak Ngaju biasanya di dominasi oleh Kecapi Karungut, Rebab, Gandang Tatau, Gong, dan suling.
2. Dayak Apo Kayan
Dayak Apo Kayan merupakan suku Dayak yang berasal dari Hulu sungai Kayan dan dataran tinggi Usun Apau, Baram, Sarawak. Saat ini Dayak Apo Kayan menyebar di daerah Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat bagian utara, dan Sarawak, Malaysia. Sub-suku yang termasuk dalam rumpun Apo Kayan adalah Kayan, Kenyah, Bahau, Kelabit, dll. Di Malaysia, Dayak Apo Kayan dikenal dengan sebutan Orang Ulu.
Ciri khas dari Dayak Apo Kayan adalah telinga panjang, serta tato di sekujur tubuh yang menandakan status sosial di masyarakat. Pakaian adat Dayak Apo Kayan biasanya di dominasi oleh warna Hitam, Putih, dan Kuning. Serta dapat ditemukan berbagai hiasan manik-manik dan hiasan bulu enggang.
Alat musik yang paling terkenal dari rumput Dayak Apo Kayan adalah Kecapi tradisional atau Sape' (Bahasa Kayan) atau Sampe' (Bahasa Kenyah), kecapi ini berbeda dari karungut, berfungsi sebagai alat musik melodis dan ukurannya lebih besar. Selain itu ada juga Gong, Sluding/klentangan, Kadire/keledik (alat musik tiup), dan Antoneng.
3. Dayak Iban
Dayak Iban, disebut juga Dayak Laut, merupakan rumpun dayak yang berada di daerah utara pulau Kalimantan. Dayak Iban menyebar di daerah Kalimantan Barat bagian utara, Sabah, Brunei, dan Sebagian besar ada di Sarawak. Dari segi bahasa Dayak Iban memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu. Adapun sub-suku dari Dayak Iban adalah Mualang, Seberuang, Melanau, dll.
Dayak iban memiliki ciri khas yaitu menjamu tamu dengan tuak (rice wine) serta tato di sekujur tubuh. Tato ini melambangkan pengalaman hidup seseorang, semakin banyak tato di tubuh berarti orang tersebut sudah memiliki banyak pengalaman dan sudah berkelana diberbagai tempat. Motif tato yang sering digunakan adalah motif bunga terong yang berada di atas dada bagian kiri dan kanan.
Yang membedakan Dayak Iban dari sub-suku Dayak lain adalah pakaian tradisional wanita Iban memiliki hiasan kepala dari logam, selain itu Dayak Iban memiliki kain tenun dengan motif yang sangat khas, ditambah dengan hiasan bulu burung enggang dan ruai di bagian kepala. Untuk musik tradisional biasanya didominasi oleh Gendang, kollatung, dan Gong.
4. Dayak Klemantan / Dayak Darat
Dayak Klemantan atau disebut juga Dayak Darat mendiami daerah barat pulau Kalimantan. Rumput dayak ini tersebar di hulu-hulu sungai yang ada di Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Dayak Darat di Malaysia dikenal dengan nama orang Bidayuh. Sub-suku dari Dayak Darat adalah Kanayatn, Bidayuh, Ketungau, dll.
Dayak Darat dikenal karena sifat yang ramah dan mudah membaur dengan para pendatang. Banyak dari masyarakat Dayak Darat yang bisa memahat. Di beberapa tempat terdapat pahatan patung menyerupai manusia dikenal dengan nama Pantak yang merupakan warisan dari nenek moyang dari rumpun Dayak Darat.
Pakaian tradisional Dayak Darat biasanya didominasi oleh warna merah, kuning, hitam dan putih, dengan hiasan manik-manik. Selain itu terdapat juga rompi dari kulit kayu yang diberi motif tertentu. Untuk hiasan kepala, rumpun Dayak Darat biasanya menggunakan ikat kepala berwarna merah dengan hiasan bulu burung ruai, enggang, atau daun Rinyuakng. Untuk alat musik tradisional biasanya didominasi oleh Suling, Gong, Gendang, dan Kollatung.
5. Dayak Murut
Darat Murut merupakan rumpun Dayak yang berasal dari derah utara dataran tinggi pulau Kalimantan. Dayak Murut tersebar di daerah Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sabah, Sarawak, dan Brunei. Adapun sub-suku dari Dayak Murut adalah Okolod, Keningau Murut, Paluan, dll.
Dayak Murut memiliki tarian yang terkenal yaitu tarian Mangunatip. Perkataan Magunatip diambil daripada perkataan "atip" yang bermaksud menekan antara dua permukaan. Penari magunatip memerlukan kemahiran dan ketangkasan yang baik untuk menari melintasi buluh yang dipukul serentak untuk menghasilkan bunyi dan irama tarian tersebut.
Pakaian tradisional Dayak Murut untuk pria secara umum terbuat dari kulit kayu atau kain tenun, dengan ikat kepala serta hiasan bulu burung ruai. Untuk wanita, baju tradisional biasanya di dominasi warna hitam dengan hiasan motif berbagai warna. Untuk alat musik, biasanya didominasi oleh Suling, Gong, Kollatung, dan Kadire/keledik (alat musik tiup).
6. Dayak Punan
Dayak Punan merupakan rumpun yang mendiami daerah Kalimantan Timur, Kalimatan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Malaysia. Dayak Punan memiliki sub-suku Hovongan, Penan, Uheng Kareho, Punan Murung, Bukat, dll.
Masyarakat Dayak Punan dikenal dari pola hidup yang nomaden atau berpindah-pindah, hal ini berbeda dengan kebanyakan suku Dayak lain yang memiliki rumah panjang sebagai tempat tinggal. Saat ini kebanyakan dari sub-suku Dayak Punan telah menetap dan membuat komunitas di suatu desa yang tersebar di berbagai daerah.
Pakaian tradisional Dayak Punan biasanya masih sangat sederhana, beberapa dari Dayak Punan juga melakukan tradisi memanjangkan telinga. Alat musik yang biasa dimainkan adalah Suling yang ditiup dengan menggunakan hidung dan Sape' (Kecapi).
7. Dayak Ot Danum
Rumpun Ot Danum atau Rumpun Barito adalah salah satu rumpun Dayak yang meliputi seluruh suku Dayak di Kalimantan Tengah,Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur bagian selatan dan Kalimantan Barat bagian tenggara. Ada yang berpendapat bahwa kelompok Dayak Rumpun Ot Danum merupakan induk bagi Rumpun Dayak Ngaju, namun terkadang kedua rumpun dipisahkan. Sub-suku dari Dayak Ot Danum adalah Ma'anyan, Tunjung, Benuaq, Lebang, Undan, dll.
Ciri khas dari Dayak Ot Danum adalah pada beberapa upacara penting, seperti upacara kematian, Dayak Ot Danum menggunakan kerbau sebagai binatang yang dikurbankan selain babi. Di dalam upacara tradisional tersebut, para dukun biasanya menggunakan kalung dengan berbagai ornamen kayu, manik, tulang, dsb.
Pakaian tradisional Dayak memiliki variasi warna beragam, termasuk ikat kepala dan ada beberapa sub-suku Dayak Ot Danum yang juga menggunakan daun kelapa sebagai hiasan. Alat musik tradisionalnya adalah Gong, Gendang, dan Kollatung.
Selasa, 20 Juni 2017
BENDA - BENDA PENINGGALAN SEJARAH
1. GOA ANGIN
Goa ini ini terletak di Gunung Kongbeng, goa angin berada di ketinggian bukit 30 meter dari permukaan tanah, ruang terdalam Goa Angin sekitar 100 meter dari ambang goa adalah tempat beberapa arca Hindu Budha ditemukan dan diberikan pertama kali Tim Buijis pada tahun 1925. Arca tersebut diidentifikasi sebagai maha dewa (Siwa), Guru (Agastya), Ganesha, Mahakala, Nandiswara, Nandi, kepala Arca Brahma dan arca Panthein Budha yang diidentifikasi sebagai Wajrapani. Arca Gunung Kongbeng saat ini berupa fragmen, kedua fragmen tersebut tidak dapat diidentifikasi lagi, kecuali posisi duduk diatas padma ganda dalam sikap Ardhaparyangkasana, serta Satwaparyangkasana diatas lapik arca berbentuk padma ganda.
Temuan arca di Gunung Kongbeng merupakan salah satu bukti persebaran pengaruh kebudayaan Hindu Budha di Kalimantan Timur. Arca yang terdapat di situs Gunung Kongbeng diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Martapura yang terletak di Muara Kaman, Arca tersebut di larikan di daerah Pantun ( Gunung Kongbeng ), dikarenakan kerajaan Martapura ( kerajaan Kutai Muara Kaman ) diserang oleh kerajaan Kutai Kartanegara pada abad 17. Pada masa itu kerajaan Martapura diperintah oleh raja Darmasetia, sedangkan kerajaan Kutai Kartanegara diperintah oleh Pangeran Sinum Panji Mendapa
2. MESIN UAP BENGALON
Mesian uap pada waktu itu digunakan sebagai peralatan industri di Bengalon, mesin uap ini memiliki tinggi 2,70 meter, panjang 4,8 meter. Mesin uap ini masih dapat dilihat di depan kantor Kecamatan Bengalon. Penemuan peralatan industri ini pertama kali ditemukan di desa Keraitan Kecamatan Bengalon, diperkirakan ada sejak ditandatanganinya perjanjian antara Belanda dan kerajaan Kutai Kartanegara yang berlangsung pada 19 Oktober 1850.
Perjanjian tersebut berisi mengenai eksplorasi oleh para ilmuwan di bidang kehutanan, kelautan dan pertambangan. Mesin uap ini dibuat oleh perusahaan Hk jonker dan Zn Amsterdam yang merupakan salah satu produsen utama mesin pabrik dan prasarana trem serta kereta api di Belanda yang beroperasi 1800-1900an.
3. MAKAM DAYANG PURNAMA / RATU PURNAMA
4. MAKAM RADEN BONGKOK
5. MAKAM NALA MAYANG
6. BATU JAK SARA
7. PIRING KERAMIK
8. MANGKOK KERAMIK
9. KERAMIK WADAH TINTAH
10 SUMUR
11. MAKAM HABIB HASAL AL-IDRUS ( HABIB ALAM 0
12. MAKAM DATUK PIDANG
13. SUMUR LUMPUR BUAL-BUAL
14. DANAU PADANG
15. MASJID AN NUR
16. SUMUR MINYAK PENINGGALAN BELANDA
17. GOA GUNTUNG WANGI
18. LAPANGAN OLAHRAGA PENINGGALAN BELANDA
19.RUMAH ADAT WIRO LUNG
20. MAKAM WIRO LUNG
21. KERIS WIRO LUNG
22. TAJI WIRO LUNG
23. MAKAM MOHD. ISA ( GEWAL ) BIN UDAN
Goa ini ini terletak di Gunung Kongbeng, goa angin berada di ketinggian bukit 30 meter dari permukaan tanah, ruang terdalam Goa Angin sekitar 100 meter dari ambang goa adalah tempat beberapa arca Hindu Budha ditemukan dan diberikan pertama kali Tim Buijis pada tahun 1925. Arca tersebut diidentifikasi sebagai maha dewa (Siwa), Guru (Agastya), Ganesha, Mahakala, Nandiswara, Nandi, kepala Arca Brahma dan arca Panthein Budha yang diidentifikasi sebagai Wajrapani. Arca Gunung Kongbeng saat ini berupa fragmen, kedua fragmen tersebut tidak dapat diidentifikasi lagi, kecuali posisi duduk diatas padma ganda dalam sikap Ardhaparyangkasana, serta Satwaparyangkasana diatas lapik arca berbentuk padma ganda.
Temuan arca di Gunung Kongbeng merupakan salah satu bukti persebaran pengaruh kebudayaan Hindu Budha di Kalimantan Timur. Arca yang terdapat di situs Gunung Kongbeng diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Martapura yang terletak di Muara Kaman, Arca tersebut di larikan di daerah Pantun ( Gunung Kongbeng ), dikarenakan kerajaan Martapura ( kerajaan Kutai Muara Kaman ) diserang oleh kerajaan Kutai Kartanegara pada abad 17. Pada masa itu kerajaan Martapura diperintah oleh raja Darmasetia, sedangkan kerajaan Kutai Kartanegara diperintah oleh Pangeran Sinum Panji Mendapa
2. MESIN UAP BENGALON
Mesian uap pada waktu itu digunakan sebagai peralatan industri di Bengalon, mesin uap ini memiliki tinggi 2,70 meter, panjang 4,8 meter. Mesin uap ini masih dapat dilihat di depan kantor Kecamatan Bengalon. Penemuan peralatan industri ini pertama kali ditemukan di desa Keraitan Kecamatan Bengalon, diperkirakan ada sejak ditandatanganinya perjanjian antara Belanda dan kerajaan Kutai Kartanegara yang berlangsung pada 19 Oktober 1850.
Perjanjian tersebut berisi mengenai eksplorasi oleh para ilmuwan di bidang kehutanan, kelautan dan pertambangan. Mesin uap ini dibuat oleh perusahaan Hk jonker dan Zn Amsterdam yang merupakan salah satu produsen utama mesin pabrik dan prasarana trem serta kereta api di Belanda yang beroperasi 1800-1900an.
3. MAKAM DAYANG PURNAMA / RATU PURNAMA
4. MAKAM RADEN BONGKOK
5. MAKAM NALA MAYANG
6. BATU JAK SARA
7. PIRING KERAMIK
8. MANGKOK KERAMIK
9. KERAMIK WADAH TINTAH
10 SUMUR
11. MAKAM HABIB HASAL AL-IDRUS ( HABIB ALAM 0
12. MAKAM DATUK PIDANG
13. SUMUR LUMPUR BUAL-BUAL
14. DANAU PADANG
15. MASJID AN NUR
16. SUMUR MINYAK PENINGGALAN BELANDA
17. GOA GUNTUNG WANGI
18. LAPANGAN OLAHRAGA PENINGGALAN BELANDA
19.RUMAH ADAT WIRO LUNG
20. MAKAM WIRO LUNG
21. KERIS WIRO LUNG
22. TAJI WIRO LUNG
23. MAKAM MOHD. ISA ( GEWAL ) BIN UDAN
Langganan:
Postingan (Atom)