Selasa, 04 Juni 2013

SEJARAH SINGA GEWEH, SINGA KARTI DAN SINGA GEMBARA

Keberadaan Sangatta sebagai bagian dari Kabupaten Kutai Kartenegara tidak terasa lagi. Sejak tahun 1999 wilayah yang dahulu merupakan wilayah Bengalon termasuk penguasa wilayah sungai Sangatta sudah menjadi wilayah Kabupaten Kutai Timur, Namun demikian, kekuatan sebagai bagian dari Kerajaan Kutai Kartanegara masih juga diingat dan menjadi kekuatan jiwa masyarakatnya. Seperti nama Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara masih sangat melekat pada masyarakat lokal Sangatta.
Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara adalah orang kepercayaan Sultan Kutai Kartanegara. Mereka ini mengorbankan dirinya menjadi makhluk gaib berwujud singa, Raja Kutai memberikan mereka mandat kepada "makhluk gaib " ini untuk selamanya menjaga hutan di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara. Bagi orang-orang yang akan ke hutan sebelumnya harus membaca mantera khusus, dengan membaca mantera tersebut maka "  SANG SINGA " tersebut tahu bahwa yang masuk ke hutan tersebut adalah masih keturunan raja dan tidak akan mengganggunya.
Seperti dijelaskan diawal SEJARAH BENGALON, wilayah Bengalon merupakan wilayah khusus bagi Kerajaan Kutai Kartanegara, wilayahnya mencakup daerah antara sungai Sangatta di bagian Selatan dan sungai Kaliorang di sisi utara. Wilayah sungai Sangatta menjadi "wilayah lain" dan dikelola oleh Ketua Adat yang ditunjuk  oleh Sultan Kutai Kartanegara. Berdasarkan sejarah,  tercatat nana-nama Kepala Adat di wilayah Sangatta, antara lain :
1. Gembara ( 1678 - 1709 )
2. Djanti ( 1709 - 1721 )
3. Singa Tua ( 1721 - 1737 )
4. Singa Geweh ( 1737 - 1`751 )
5. Singa Muda ( 1751 - 1781 )
6. Macan ( 1781 - 1801 )
7. Karti ( 1801 - 1830 )
8. Tali ( 1830 - 1842 )
9. Bungul ( 1842 - 1855 )
10. Sampai ( 1855 - 1901 )

SEJARAH BENGALON

Secara khusus disebutkan bahwa wilayah Bengalon yang sekarang merupakan wilayah administrasi Kutai Timur, namun pada waktu jaman Kerajaan Kutai Kartanegara, Bengalon merupakan wilayah Sumahan. Wilayah Sumahan adalah daerah yang dijadikan barang mahar waktu perkawinan Raja Kutai bernama Aji Batara Agung Paduka Nira ( 1350 - 1360 ) dengan Paduka Suri ( putri dari kepala pemerintahan wilayah Bengalon ) Disebutkan bahwa putri Bengalon meminta " membilang kersik sebokor, membilang karang selanjung, membilang daun rinding yang bergerak ". Aji Batara Agung Batara Nira menyetujui dengan menyebutkan bahwa " mana-mana yang mendengar Petong ini meletop, itulah sumahannya, mana-mana yang tidak mau menurut itu katakan kepada aku, akulah lawannya dan lagi orang Bengalon hingga jenangku sampai di anak cucuku hingga bersahabat saja dengan anak cucuku. Mana-mana yang menjadi raja di negeri Kutai inilah perjanjian Kutai dengan Bengalon sampai hari ini tiada memberi upeti ke Kutai Kartanegara sebab sumuhannya belum habis dibayar. Jika susah Bengalon susah juga Kutai, dan jika susah Kutai susah juga Bengalon sampai sekarang ini.
Dan pada akhirnya Putri Bengalon dijadikan Paduka Ratu dari Kerajaan Kutai Kertanegara. wilayah Bengalon dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang takluk kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Wilayah yang disebutkan sebagai Sumahan itu terletak antara sungai Sangatta (dari muara hingga ke hulu) di sisi selatan dan sungai Kaliorang dari muara hingga hulu, sisi barat adalah pegunungan (dekat degan dua hulu tersebut), serta sisi timur adalah selat Makassar, dapat dibayangkan bahwa wilayah tanah Sumuhan Bengalon itu terdapat di hampir seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur. Tanah di Bengalon secara historis merupakan tanah pusaka dari Kerajaan Kutai Kartanegara. hanya saja Bengalon yang merupakan tanah Sumuhan memiliki keistimewaan, tanah ini tidak membayar upeti kepada kerajaan. wilayah Bengalon terkenal dengan banyaknya hasil komoditas dan hasil bumi, hasil bumi ini juga yang akan dibawa ke Kutai Kartanergara pada waktu Upacara Erau. Bengalon juga mendapat keistimewaan untuk mengadakan Upacara Erau namun lingkupnya agak kecil dan sederhana, kegiatan upacara Erau Bengalon mirip dengan Upacara Erau Kutai Kartanegara.