Minggu, 03 November 2013
SANGATTA DI MASA LAMPAU
Telah
kita ketahui bahwa Kota Sengata adalah ibu kota Kabupaten Daerah
Tingkat II Kutai Timur yang merupakan salah satu dari daerah
pemekaran dari kabupaten Kutai tahun 1999.
Orang-orang
Sengata awalnya berasal dari orang-orang pantun yang bertempat
tinggal di Hulu sungai Sengata yaitu di Sengata Kepet atau Selayar.
Untuk
mengetahui tempat itu ada suatu tanda yang pernah didiami oleh orang
Sengata dahulu yaitu berupa sebuah tangga behek namanya yang sampai
sekarang ini masih bisa kita lihat, yang pada waktu itu dipimpin oleh
seorang Kepala Adat yang namanya Gembara yang diangkat sebagai
Kepala Adat pada tahun 1678 dan pada tahun 1709 Kepala Adat Gembara
diganti oleh Kepala Adat yang baru yang bernama Djanti.
Sewaktu
Kepala Adat Gembara diganti oleh Kepala Adat Djanti, dimana saat itu
Djanti menguasai benua Sangatta Kepet yang orang-orangnya masih
menganut agama yang menyembah patung atau masih percaya dengan
orang-orang desa yang mempunyai kesaktian.
Waktu
itu bilamana ada orang yang mati atau meninggal dunia diwaktu siang
hari, ia dapat dihidupkan kembali dan bilamana pada malam hari tidak
dapat dihidupkan lagi, karena sudah ada perjanjian denga roh-roh
sakti dikayangan, Kepala Adat Gembara dan Djanti waktu itu masih
dekat orang-orang kayangan sakti.
Dengan
demikian pada waktu itu terjadi suatu percobaan dari Yang Maha Kuasa,
dimana anak dari kepala adat Djanti mati / meninggal dunia dimalam
hari maka dengan terpaksa karena Djanti sayang dengan anaknya dan
lagipula anak itu perempuan maka Djanti berusaha untuk
menghidupkannya dan ternyata berhasil, dengan demikian kepala adat
gembara dan Djanti telah melanggar sumpah dan perjanjian dengan
orang-orang dewa sakti di kayangan. Padahal sewaktu kepala adat
Gembara dan Djanti yang masih menguasai benua sengata kepet atau
benua selayar mereka masih taat atau bertuhan kepada dewa – dewa.
Maka dengan terjadinya pelanggaran sumpah dan janji
tersebut,hilanglah kekuasaanya. . Dengan demikian maka
diserahkanlah tahtanya kepada Singa Tua, untuk menjadi Kepala
Adat selanjutnya dibenua Sengata Kepet / benua selayar.
Wilayah
Kekuasaan Kepala Adat Singa Tua adalah dari benua Sengata Kepet
sampai dengan Tunggur Butuh, dimana letak tunggur butuh adalah
disebelah kiri mudik sungai sengata .
Tunggur
butuh tersebut dibuat dari kayu ulin untuk menjadi perbatasan dari
sangatta kepet, dan letaknya dikiri mudik sungai sangatta.
Pada
tahun 1721 terjadi pergantian kepala adat karena sakit dan digantikan
oleh kepala adat Singa Tua dan sengata kepet ditinggalkan. Dan dibuat
suatu kesepakatan dimana kepala adat membuat suatu tanda sebagai
untuk disembah kepada dewa setiap waktu, dimana tunggur butuh
tersebut terdiri dari kayu ulin yang tingginya kurang lebih 5 meter
dan lebarnya kurang lebih 60 cm, didalam ulin tersebut ada sebuah
guci besar dengan berukir seekor naga bersulai, dan tunggur tersebut
mempunyai ukiran binatang-binatang yang ada didunia ini.
Tunggur
Butuh ini terletak disebelah kiri mudik sungai sengata, yang
menandakan tempat asal benua sangatta yang sangat ramai, sesudah
benua sengata kepet ditinggalkan oleh kepala adat yang dulu, sehingga
perpindahan ini masih dipimpin oleh kepala adat Singa Tua .
Kepala
Adat Singa Tua mempunyai anak masing-masing :
1.Singa Geweh : Dan menikah mempunyai anak laki-laki yang
bernama TALI
2.Nung Bakung : Anak Singa Tua yang perempuan ini tidak bisa
berkelanjutan karena sewaktu berlayar dan sampai dimuara sangatta
lalu menghilang / gaib dan sampai sekarang tanda tempat menghilang
tersebut masih ada dimuara sungai sengata.
3. Singa Muda : Anak laki-laki mempunyai anak 5 orang yaitu :
KARTI, SENGKAR,SINAM, KACUP, dan KATIN
Setelah
16 tahun Singa Tua menjadi kepala Adat maka pada tahun 1737
terjadilah pergantian Kepala Adat yang baru yaitu anaknya sendiri
yang bernama Singa Geweh. Kepala adat Singa Geweh ini mengatur
masyarakatnya dengan aman dan tentram dan lama kelamaan benua
tersebut ditinggalkan karena ada terjadinya peperangan dengan
orang-orang Dayak dari Hulu Mahakam, dan tidak dapat ditahankan oleh
karena kurang peralatan dan akhirnya kepala Adat Singa Geweh mengajak
masyarakatnya untuk pindah kesuatu tempat yaitu di Benua Muda.
Sesudah
berpuluh tahun di Benua Muda tersebut, ada suatu percobaan dari Yang
Maha Kuasa yaitu terjadinya kemarau panjang, dimana sungai Sengata
sampai tidak ada lagi airnya, yang ada hanya airnya dicelah-celah
yang agak rendah tanahnya.
Dalam hal ini masyarakat di ajak untuk pindah lagi oleh kepala
adatnya yaitu menuju suatu benua yang ada airnya yaitu di Benua
Belahu Geruci, sehingga masyarakat mudik menuju tempat tersebut dan
berkumpullah masyarakat di Benua Belahu Geruci, dimana masyarakat
pada waktu cukup berkembang dan bertambahnya penduduk, walaupun air
tidak mencukupi, yang akhirnya oleh kepala adatt terpikir untuk
membagikan air yang cukup sulit itu kepada masyarakatnya, yang
diambil masing-masing ditempat :
1. Di
Belahu Geruci yang dinamakan Teluk Besar.
2.
Peler Sayus yang merupakan suatu rantau.
3.
Batu Wa’Ali yang merupakan tanda tempat duduk.
4.
Tangga Adji yang merupakan tempat naik raja.
Daerah
- daerah inilah yang termasuk dari kekuasaan Kepala Adat Singa Geweh.
Keterangan : Peler Sayus : adalah sebuah benda yang terdiri dari
sebuah batu yang berbekas seperti (maaf) peler ini terjadi sewaktu
sayus sedang duduk memncing ikan
Batu Wa’ Ali : adalah tanda suatu perlawanan yang hebat dari
orang-orang dayak yang banyaknya kurang lebih 400 orang, dan
perlawanan sengit terjadi yang dipimpin oleh Wa’ Ali dan terjadi
pertumpahan darah, dimana banyaknya orang – orang meninggal
sehingga darahnya mengalir ketepi sungai mengenai batu-batu tersebut
, sehingga sampai sekarang batu-batu didaerah itu agak kemerah
merahan.
Tangga Adji : Adalah suatu tempat yang digunakan oleh Keluarga Raja
Kutai dari Tenggarong, untuk naik dan turun menuju Sungai Bengalon,
suatu sungai tempat peristirahatan para keluarga Kutai (asal kata
Bungalow), dimana diatas tangga –tangga tersebut bertuliskan dengan
bahasa orang Bajau Tidung yang berkata sebuah pantun : “ Batu
Adji ilas berukir, ukiran anak si Raja Tidung.
Sesudah beberapa lamanya bertempat tinggal ditempat itu yaitu di
Belahu Geruci, kebatu wa’Ali sampai ke Benua asal sewaktu musim
bertemu dengan orang-orang Cina Lama yang banyak membawa berupa Guci,
piring, mangkok, sendok dll dan perkembangan di Benua Muda terus
bertambah penduduknya dan datanglah suatu percobaan dari Yang Maha
Kausa yaitu terjadi banjir desar yang melanda Kampung tersebut dan
oleh Kepala Adat diperintahkan kepada penduduk untuk mencari suatu
tempat yang lebih tinggi, selama banjir tersebut rumah penduduk
berhancuran dan selain itu datang pula serangan dari orang dayak
namun serangan itu gagal dan banyak orang-orang
Dayak tersebut mati terdampar disuatu tempat yang dinamakan Rapak
Malindun ( sekarang masih ada ), untuk mencari tempat yang tinggi dan
aman maka mereka segera pergi kehilir dan berlabuh di keham keham
yang cukup tinggi dan untuk menyelamatkan diri dari serangan banjir
dan penyerangan orang Dayak, maka banyak keham-keham yang disinggahi
antara lain :
- Keham Segelap : adalah dimana dikeham tersebut cahaya matahari tidak tampak dan sangat gelap.
- Keham Batu Apat : adalah suatu keham tempat persembunyian orang-orang dan bahasa Sengata menyebutkan bahwa orang Dayak tidak dapat melakukan serangan.
- Keham Batu Buam : adalah suatu tempat dimana orang Dayak tidak bisa mengepung dan buntu serangan.
4. Keham Sambut Tangan : adalah suatu keham yang untuk
menuju tempat tersebut harus bergantian dan saling sambut tangan.
5. Keham Batu Rumah : adalah suatu keham yang besar seperti
rumah dan tempat perlindungan orang-orang dalam pelarian.
6. Keham Batu Rumah : adalah keham tempat orang-orang
bersukat kemaluan yang panjang artinya siapa kemaluannya yang panjang
berarti dia berani melawan orang-orang Dayak.
7. Keham Deras Kelawit : adalah keham besar dan airnya cukup
deras dan kuat.
8. Keham Segimbal : adalah keham ditepi sebuah kampung dan
ada sebuah batu seperti kambing / gimbal dan sewaktu Erau terjadi
batu tersebut di sambar petir.
9. Aor Wa’ Alok : adalah bekas kampung yang saat ini
masih ada suatu peninggalan utamanya tempat masyarakat menyembah
berhala / patung.
Pada
tahun 1751 terjadilah pergantian Kepala Adat Singa Geweh kepada
Saudaranya Singa Muda, dimana Singa Muda ini berpuluh-puluh
tahun mengatur rakyatnya dangan baik , kemudian Kampung dipindahkan
lagi kesuatu tempat yang dianggap lebih baik lagi yaitu di Benua
Bendili, setelah beberapa tahun menempati
Benua Bendili, Kepala Adat diganti lagi karena sesuatu hal yang
dianggap oleh rakyatnya tidak memuaskan dan terjadilah pergantian
pada tahun 1781 dengan Kepala Adat Macan ( yang dianggap
terkuat di kampung tersebut).
Beberapa
tahun mendiami Benua Bendili, maka terjadilah perpindahan lagi dan
menempati suatu tempat yang diberi nama Benua Melawan yang berada
dikiri mudik sungai sengata.
Waktu
Benua Melawan dipimpin oleh Kepala Adat Macan disinilah tugas Kepala
Adat bertahan dari serangan orang-orang suku Dayak dan mengadakan
perlawanan yang dahsyat beserta rakyatnya, dengan semboyan oleh
Kepala Adatnya sampai tumpah darah yang penghabisan kami tetap
melawan , akhirnya berkat kekuatan dan kekompakan dengan rakyatnya,
maka ,Kepala Adat Macan berhasil mempertahankan Benua Melawan
dari serangan orang-orang Dayak sehingga sampai saat ini tertinggal
sebuah nama sungai melawan, dan mayat-mayat dari orang Dayak banyak
yang terdampar di sebuah sungai kecil yaitu sungai Loah Empang (dalam
bahasa daerah sengata artinya terdampar/terpampang), dengan
kemenangan tersebut dimana Kepala Adat Macan memang sudah lama
memangku Kepala Adat dan pada tahun 1801 Kepala Adat Macan meninggal
dunia dan diganti oleh Kepala Adat yang baru yaitu KARTI,
saat itu Karti adalah sebagai orang kedua (wakil) dari Kepala
Adat Macan .
Dengan
terjadinya pergantian Kepala Adat Macan yang meninggal dunia, dimana
beberapa tahun Kepala Adat Karti memimpin rakyatnya , pengaruh dari
Kepala Adat yang lama yaitu Macan masih ada , sebab kebanyakan
rakyatnya yang bertempat tinggal di melawan masih sayang dengan
Kepala Adat macan, karena keberaniannya dan
akhirnya kampung terbagi dalam 3 ( tiga ) yaitu keluarga Macan
memimpin diseberang kiri sungai melawan, dan
sungai Loah Empang seberang kiri mudik juga dibawah keluarga macan,
sedangkan dikampung Benua Kepung dan Sidung dikepalai oleh Kepala
Adat Karti.
Sungai
Sidung yang terletak di sebelah kiri sungai Sengata, sewaktu wakil
Kepala Adat Karti berkampung di Benua Kepung dan Sidung, setelah
beberapa lama datanglah serangan orang-orang Bajak Laut Bajau Tidung,
dan orang kampung bersembunyi di sungai Murung yang terletak
disebelah kanan sungai Sengata dan rakyat terkurung disana, sebab
benua kepung dan Sidung sudah diduduki oleh Bajak Laut atau Bajau
Tidung dan Kepala Adat Macan turun tangan disebabkan rakyatnya
terkurung tidak bisa keluar, Kepala Adat turun tangan dengan
rakyatnya mengepung orang Bajau Tidung, karena disitulah orang Bajau
Tidung terkepung oleh serangan dari Kepala Adat Macan.
Untuk
memusnahkan orang Bajau Tidung tersebut Kepala Adat meminta bantuan
kepada Kepala Adat yang lama yaitu Gembara yang pada waktu itu umur
Gembara sudah lebih 100 tahun, tetapi masih mempunyai tenaga yang
kuat dan sakti maka oleh Gembara meminta kepada Dewa Sakti, sehingga
semua orang Bajau Tidung tertidur dan bekas Kepala Adat Gembara lalu
mengiris semua hidung orang-orang Bajau Tidung tersebut, sehingga
tempat tersebut terjadilah sebuah danau yang sampai saat ini masih
ada yaitu Danau Sidung.
Setelah
orang Bajau Tidung sudah tidak ada lagi, maka diaturlah benua
tersebut dengan sebaik-baiknya oleh Kepala Adat Karti dan
masyarakatnya berhanyut lagi kehilir untuk menuju Benua yang baru
lagi yaitu Benua Buntu Bandir dan Behulu Gung, dua benua tersebut
diatur sedemikian rupa oleh Kepala Adatnya, dan oleh Kepala adat
diadakan suatu sayembara atau perlombaan kampung dan diundang seluruh
masyarakat yang ada disekitar kampung Sengata, seluruh bekas Kepala
Adat yang masih hidup diundang semua untuk berlomba menyeberang
sungai Belahu Gong dengan membawa sebuah gong dengan memegang
benjolan gong tersebut, siapa yang menang akan mendapatkan sebuah
Guci besar yang berukir naga bersulai, dimana warna guci tsb
kekuningan dengan tinggi 160 cm dan guci tsb terdiri dari 2 buah (
laki dan bini ) guci tersebut berasal dari bekas kepala Adat Gembara,
oleh karena Gembara kalah dalam perlombaan, terpaksa guci tsb diambil
alih oleh Kepala Adat Karti.
Akan
tetapi oleh Karti diambil kebijaksanaan guci yang dua buah itu dibagi
oleh Karti dengan pembagian yang satu untuk usbah yang laki dan yang
satu untuk usbah yang perempuan.
Berhubungan
bekas Kepala Adat Gembara malu maka secara sembunyi guci yang untuk
usbah perempuan dibawanya lari sampai keutara Sengata yaitu kesebuah
kampung di Kecamatan Sangkulirang yaitu Kampung Manubar, sampai saat
ini guci yang untuk usbah laki-laki berada di Sangatta dan guci yang
untuk usbah perampuan ada di Manubar.( sekarang kec. Sandaran)
Guci
untuk usbah laki – laki sampai kini masih
berada dirumah Ibu gomariah/Embung binti Amir ( Jl. Diponegoro
Sengata utara).
Setelah
terjadi perlombaan belahu gung, rakyat yang berdiam di kampung Benua
Kepung menghilir lagi dan pindah kesebuah kampung yaitu buntu Bandir
yang artinya suatu tempat yang orang kampung terdahulu banyak yang
mati hampir setiap jam sehingga mayat-mayat tersebut terlambat untuk
dikuburkan dan banyak yang busuk ( Bahasa Sengata Buntuk/Bontok ),
kematian ini diakibatkan oleh suatu penyakit yang dinamakan penyakit
dingin ( mayat bertambah hingga tertimbun ) dan disimpan di bawah
pohon besar ( bahasa daerah disimpan dibanernya ).
Lama
kelamaan masyarakat banyak berkurang karena banyak yang terkena
penyakit dingin dan akhirnya Kepala Adat Karti diganti dengan Kepala
Adat yang baru yaitu TALI ini terjadi pada tahun 1830, sejak
dipimpin oleh Kepala Adat Tali inilah segala hasil kampung disetorkan
/ memasukkan uang belasteng ( pajak uang Kepala ) dan uang ini
disetorkan ke kerajaan Kutai di Tenggarong. Dengan berkembangnya
sengata pada waktu itu maka pada tahun 1830 suatu Perusahaan Minyak
Asing Mulai masuk ke sangatta yaitu Perusahaan NKPM bergerak
dibidang perminyakan dan yang pertama beroperasi dalam pengeboran
yaitu di sungai Melawan, sedangkan sisa-sisa peralatan NKPM yang
berupa pipa masih ada di sungai Melawan Sengata.
Penghasilan
rakyat pada waktu itu adalah Rotan, Damar, sarang burung dan sirap.
Pada
tahun itu Kepala Adat Tali menunaikan ibadah haji dan Kepala Adat di
wakili oleh Kepala Adat Bungul, tetapi sampai beberapa tahun Kepala
Adat Tali di tunggu kedatangannya juga tidak ada berita, tetapi
setelah beberapa tahun beberapa tahun kemudian ada berita bahwa
Kepala Adat TALI telah meninggal dunia di Mekkah ( dalam menunaikan
ibadah haji ), setelah mendengar hal tersebut maka terjadi pergantian
Kepala Adat dimana Wakil Kepala Adat BUNGUL diangkat menjadi
Kepala Adat.
Pergantian
ini terjadi pada tahun 1842, dengan dipimpin Kepala Adat Bungul,
hasil hutan sudah mulai meningkat dan pada waktu itu oleh Sultan
Kutai telah menugaskan RADEN BENDAHARA untuk membeli dan
memungut cukai hasil hutan.
Tetapi
rupanya oleh rakyat di Sengata hasil hutan tersebut dijual secara
langsung kepada para pembeli yang masuk ke Sengata, maka Raden
Bendahara marah karena setiap ke Sengata untuk mengambil hasil hutan
dan cukai selalu hasil hutan itu sudah tidak ada lagi dikarenakan di
jual oleh masyarakat ke pedagang lain, akhirnya Raden Bendahara
mengeluarkan suatu sumpah kepada orang lain yang berusaha mencari
hasil hutan yang katanya : BILAMANA SAYA MEMANG TUTUS RAJA, ATAU
KETURUNAN RAJA KUTAI, MAKA 7 (TUJUH) TURUN ORANG-ORANG YANG ADA DI
SENGATA TIDAK MENDAPATKAN SELAMAT DAN HASIL HUTAN MUSNAH SELAMA ITU.
Dengan
sumpah itu rupanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa sehingga terjadi
suatu musibah kemarau panjang selama 1 (satu) tahun penuh, sehingga
semua hasil hutan yang ada di Sengata habis musnah terbakar, dan
sampai saat ini sebiji rotanpun tidak ada lagi di Sengata, akibat
sumpah dari Raden Bendahara dari Kerajaan Kutai Tenggarong (karena
menurut hitungan sampai saat ini baru terjadi 6 (lima) turunan dan
masih ada 1 (satu) turunan lagi.
Dan
pada tahun 1855 terjadi pergantian Kepala Adat yang baru di pimpin
oleh Kepala Adat SAMPAI, dimana Kepala Adat Sampai memimpin
dengan baik rakyatnya sehingga usaha yang tidak mungkin ada pada
waktu itu diusahakan, karena kita ketahui bahwa dengan adanya sumpah
Raden Bendahara tadi, maka rakyat Sengata sudah mulai kehilangan mata
pencaharian, dan diusahakan oleh Kepala Adat Sampai supaya ada usaha
yang baik, yaitu mencari usaha lain antara lain bertani, mencari ikan
dll.
Pada
tahun 1901 Kepala Adat Sampai diganti sekaligus pada waktu terjadi
pergantian sebutan dari Kepala Adat menjadi Petinggi, yang menjabat
pertama menjadi petinggi adalah BIJAK dan pada waktu itu Imam
sudah ada, dan dijabat oleh Imam Saong, wakil imam bernama
Sendawar. Pada waktu petinggi Bijak memimpin masuk lagi
Perusahaan Perminyakan yang bernama Kolnia pada tahun 1903,
dan pengeboran dimulai disekitar ST. 1 yang sekarang ini. Belum
sampai 2 tahun berjalan Perusahaan tersebut tutup kembali, dimana ini
terjadi pada waktu perang dengan sekutu sehingga usaha perminyakan di
Sengata sepi kembali.
Pada
tahun 1930 telah masuk kembali Perusahaan perminyakan B.P.M (
Batafsche Petrelium Maschapey ) di Sengata dan banyak masyarakat
Sengata yang dapat ditampung bekerja di B.P.M. tersebut dan telah
melakukan pengeboran di daerah Sengata dan sekitarnya yaitu
ST.1,2,3,4,5 dan 6, terakhir pada tahun 1945 waktu terjadi peristiwa
Merah Putih dimana Sengata pada waktu itu telah dimasuki tentara
Belanda kurang kebih 10 orang dan beberapa orang dari suku Timor dan
keamanan dari pihak Indonesia kurang lebih 12 orang yang dipimpin
oleh Arip ( orang berasal dari Kalsel ).
Pada
tahun 1955 perusahaan perminyakan B.P.M tutup kembali dan pindah ke
sanga-sanga, dan keadaan Sengata kembali sepi, dan pekerja rakyat
hanya menebang kayu, membuat sirap dan adanya kehutanan / perhutani,
sehingga pada waktu itu pencaharian rakyat Sengata bisa tertampung.
Pada
tahun 1967 Kepala Kampung sengata dijabat oleh ABDUL RIFAI GANI,
keadaan Sengata mulai ramai karena dengan masuk kembali perusahaan
perminyakan pertamina, sebelum ini orang-orang kampung masih tinggal
di Sengata I, ialah sengata ilir sekarang ini dan sesudah itu pindah
lagi ke kampung Sengata II atau Masabang sekarang ini.
Dengan
dibukanya perminyakan di Sengata, maka mulailah penduduk Sengata
bertambah banyak, karena dengan datangnya orang dari luar daerah
Sengata, karena bekerja di Sub Kontraktor Pertamina.
Pada
tahun 1977 penduduk Sengata cukup padat yang pada waktu itu tercatat
sebanyak 7.200 jiwa, dengan demikian keadaan cukup rawan karena
sering terjadi beberapa perkelahian dan lain-lain.
Pada
tahun 1972 pada saat Kepala Kampung dijabat M. PITAL B maka
mulai saat itulah terjadi pergantian Kepala Kampung selama 5 tahun
sekali dan berakhir pada tahun 1977, dan waktu itu diadakan pemilihan
Kepala Kampung, tetapi berhubung sesuatu dan lain hal pemilihan
terpaksa dibatalkan dan ditunjuk Wakil Kepala Kampung pada waktu itu
sdra. ABDUL HAMID K sebagai Kepala Kampung, dengan Imam
P.3.NTR di Sengata adalah sdra, ISMAIL M yang dijabatnya sejak
tahun 1976..
Sabtu, 02 November 2013
Langganan:
Postingan (Atom)