Tersebutlah dalam hikayat Kutai, bahwasanya Petinggi Jaitan Layar dengan istrinya Nyai Jaitan Layar tinggal di sebuah gunung, ditempat dimana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidupnya sehari-hari, puluhan tahun mereka hidup sebagai suami isteri, namun Dewa di kayangan tidak menganugerahkan seorang anakpun, Sering Petinggi Jaitan Layar beserta istrinya bertapa menyendiri menjauhi kerabatnya dan rakyatnya, memohon kepada Dewata untuk mendapatkan anak, setiap hari dupa setanggi dibakar dan bersemedi dengan khusuknya.
Pada suatu malam sedang mereka tertidur dengan nyenyaknya terdengar suatu suara diluar rumah yang gegap gempita menyentakkan mereka dari tidur diperaduan. Merekapun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah. Apakah yang terlihat oleh kedua laki dan istri ini? Sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah dan pada saat itu malam yang tadinya gelap gulita menjadi terang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta istrinya masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam . Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya : " Sambut mati babu, tiada sambut mati mama ".
Sampai tiga kali suara itu terdengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya demikian : " ulur mati lumus, tiada ulur mati lumus ", kemudian terdengan lagi suara : "Sambut mati babu, tiada sambut mati mama" Kini Petinggi Jaitan Layar tanpa ragu-ragu lagi menjawab : " Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus ". Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata " Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama-sama istrinya menjumpai batu itu, yang ternyata sebuah raga mas. Raga mas itu dibukanya dan betapa terkejutnya Petinggi beserta istrinya tatkala melihat didfalamnya seorang bayi yang diselimuti lampin berwarna kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah dibumi tujuh orang Dewa, yang menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari dewa itu menyapa Petinggi : " Berterima kasihlah kepada Dewata karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim istrimu. Bayi ini adalah keturunan dewa-dewa dari kayangan, karena itu jangan disia-siakan pemeliharaannya, jangan dipelihara sebagai anak manusia biasa".
Jangan bayi keturunan dewa ini diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan iar biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi. Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah sebelum diadakan ERAU (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini haram diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati.
selain daripada itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau mati. Demikian pula bila anak ini pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara Erau (pesta) sebagaimana upacara pada pijak tanah.
Sesudah pesan ini disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh orang Dewa itupun naik kembali ke langit. Petinggi dan istrinya dengan penuh bahagia membawa bayi itu masuk kembali ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang bangkit kasih sayang.
Akan tetapi istri petinggi susah hatinya, karena air susunya tidak meneteskan air susu.apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya.
Akhirnya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghamburkan beras kuning, sambil mereka memanjatkan doanya kepada para Dewa agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya payudaranya diberikan air susu yang harum baunya. setelah selesai berdoa maka terdengarlah suara dari langit : "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usapkanlah payudaramu dengan tanganmu berulang-ulang sampai terpancar air susu dari payudaramu"
Mendengar perintah ini, maka isteri dari Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan dan pada wakti sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek istri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bgaimana anaknya keturunan dari Dewa mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam Nyai jaitan Layar, maka tinggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam " sapu jagat " ditembakkan sebanyak tujuh kali. selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, dialam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.
Maka Petinggi Jaitan Layar pun mempersiapkan Upacara Tijak Tanah dan Upacara Erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinnya. empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata siang malam ditabuh membawa suasana semakin meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka berbagai macam binatang baik betina maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesa dari tujuh orang Dewa yang mengantar Aji Batara Agung Dewa Sakti pada waktu masih jabang bayi kepada Petinggi dua laki istri, yaitu "membunuh" beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk dipijak kepalanya oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti " pada Upacara Tijak Tanah,
kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan.
Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning lalu diarak ke tepian sungai, Di tepi sungai Aji Batara Agung dimandikan dimana kakinya dipijak-pijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria baik orang tua maupun orang muda.
Sesudah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu Gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Pada saat itu di langit gunturpun berbunyi dengan dahsyatnya yang menggoncangkan bumi dan hujan panaspun turun merintik. Tetap keadaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kaski agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya adalah gigi Aji Batara Agung di asah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pestapun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari siih berganti
Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang,keramaian itu berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat, demikian juga hiasan-hiasanrumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagikan kepada rakyat
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata " Tiada siapapun yangdapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak batara dewa-dewa di kayangan ".
selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jaitan Layar berjalan sebagai biasa kembali, masing-masing penduduk melaksanakan pekerjaaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. sementara itu Aji Batara Agung dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan dan berwibawa.
MD.