Pada suatu hari keadaan cuaca di Hulu Dusun sangat buruknya, meskipun pada pagi harinya mulanya cerah, akan tetapi dengan tiba-tiba terjadilah perubahan yang menakutkan penduduk. Pagi yang mulanya cerah tiba-tiba menjadi gelap gulita, seakan-akan telah terjadi gerhana matahari. Hujan lebat dan badai dahsyat bermain-main di dunia yang gelap gulita dengan diiringi tingkah oleh kilat dan guntur yang sambung-menyambung.
Apakah ini suatu tanda bahwasanya di dunia akan kiamat? Demikianlah pikiran yang berkecamuk dalam benak penduduk, tidak terkecuali juga pikiran yang demikian itu melintas dalam pikiran Petinggi Hulu Dusun dan istrinya. Apalagi keadaan yang demikian itu terjadi selama tujuh hari tujuh malam sehingga tidak seorangpun yang berani keluar rumah untuk berkebun atau ke huma. Bagi penduduk yang tidak tersedia makanan di rumahnya untuk sekan hari itu terpaksa menanggung lapar. Keluar rumah takut disambar petir. Dan tidak satupun dari penduduk Hulu Dusun yang mau mati konyol disambar petir, lebih baik menanggung kelaparan dalam rumah dan kalau mau mati, maka matilah seisi rumah.
pada hari ketujuh Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma pergi ke dapur untuk mencari sisa-sisa makanan yang mungkin masih bisa dimanfaatkan untuk sekedar bisa menyambung hidup. syukurlah masih ada bahan-bahan yang dapat dimasak, akan tetapi malang tidak ada sebiji kayu apipun yang tersisa untuk menanak beras.
Akhirnya dengan terpaksa sang Petinggi mengambil parangnya dan meotong sebuah kasau rumah untuk dijadikan kayu api. Kasau itu dibelah-belahnya sehingga menjadi beberapa biji kayu api. Tiba-tiba dari belahan kayu api itu dilihatnya seekor ular kecil sedang melingkar, yang memandang kepada Petinggi dengan matanya putih yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara
Segera Babu Jaruma diberitahukannya dan tatkala sang isteri melihat ular tersebut, terbitlah kasihnya yang mendalam dan meminta kepada suaminya agar ular tersebut duambil dan dipelihara di dalam tempat sirihnya.
Pada saat ular itu mau diambil, maka keajaibanpun timbul. Alam yang mulanya menggila dengan tiba-tiba mereda kembali. Cuaca menjadi cerah, cahaya mentari memancarkan cahayanya, menyedot warna-warninya, bunga-bungaan kelihatan mekar menantang gadis-gadis dan pemuda Hulu Dusun untuk menikmati keindahan alam dan mereka keluar bersuka ria dan saling berpandangan dan melempar senyum dari jarah jauh, karena adat tidak menginjinkan gadis dan jejaka saling bertegur sapa sebelum mereka diikat oleh perkawinan
Ular yang diketemukan dalam kasau tadi dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh Bambu Jaruma. Setiap harinya diberi makan, setiap saat dibelainya dengan penuh rasa kasih sayang dan diajaknya bermain-main. Tiap hari ular itu semakin besar dan akhirnya tempat sirih itu sudah tidak muat lagi untuk ditempati seluruh tubuhnya. Babu Jaruma pun mencari tempat yang lebih besar dan ular tersebut dipindahkan kesana. Tapi kenyataannya ular tersebut makin bertumbuh sehingga tempat tersebut pun tidak memenuhi syarat pula untuk tempat ular itu.
Akhirnya oleh Petinggi Hulu Dusun dibuatnyalah sebuah kandang yang besarnya setengah dari ruangan tengah rumahnya. ular tersebut bertumbuh terus, semakin besar dan akhirnya bukan merupakan seekor ular lagi akan tetapi merupakan seekor naga.
Petinggi menjadi khawatir dan berkatalah dia kepada istrinya : "Apakah yang harus kita perbuat, anak kita semakin besar dan akhirnya bisa menyesaki rumah kita ini, aku menjadi takut ". Babu Jaruma pun menjawab : " akupun juga menjadi takut, meskipun aku telah memeliharanya sejak sebagai seekor ular sampai menjadi seekor naga ". Keduanya masgul dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Pada suatu malam sang Petinggi Hulu Dusun yang tidur disisi naga itu bermimpi berjumpa dengan seorang gadis yang cantik jelita, yang tidak ada bandingannya dari gadis Hulu Dusun yang pernah dilihatnya.
Dengan ketawanya yang manis dimana terlihat barisan gigi yang putih bersih menghiasa wajahnya yang cerah, gadis menyapa Petinggi : " Ayo ayah dan bundaku tersayang, ananda sudah besar sehingga membawa ketakutan bagi ayah dan ibu serta penduduk disini. Sebaiknya ananda meninggalkan tempat ini. Untuk itu buatkanlah tangga, dimana ananda bisa meluncur kebawah ".
Paginya Petinggi segera bangun dan teringat terus akan mimpi itu. Segera diberitahukannya Babu Jaruma tentang mimpi itu. Kedua laki istri itupun mengumpulkan sanak keluarganya terdekat, kemudian berembuklah mereka bagaimana cara bagaimana membuat tangga yang diminta gadis jelita yang menjumpainya dalam mimpi itu.
Maka dibuatnyalah tangga dari kayu yang besar-besar dan anak-anak tangganya diikat dengan rotan yang kuat. Setelah tangga itu dipasang dimuka pintu rumah, Petinggipun mendekati naga sambil berkata " Wahai anakku tangga sudah selesai, sebaiknya engkau turun sekarang ".
Mendengar perkataan ini, maka sang naga menggerakkan kepalanya menjulur melewati ambang pintu dan hendaknya mulai merayap turun melewati tangga itu. Akan tetapi tangga itu berpatahan. sang nagapun menarik masuk kembali kepalanya dan melingkar kembali ketempat semula.
Melihat bahwa tangga yang dibuat itu kurang kuat, maka Petinggi pun menyuruh sanak keluarganya membuat tangga baru yang bahannya terbuat dari kayu ulin. Sesudah selesai maka dipersilahkannya lagi sang naga untuk menuruni tangga itu, akan tetapi tangga itu sama dengan tangga sebelumnya, hancur tidak dapat menahan berat badan dari sang naga.
Malam berikutnya sang Petinggi mendapat mimpi lagi, bahwasanya sang naga mengharap agar dia dapat diturunkan. Kata sang naga : " Buatkanlah tangga dari kayu lampung, sedangkan anak tangganya hendaknya dibuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Tangga yang dibuat dari bahan lain, meski dibuat dari besipun tidak sanggup menahan berat badanku. Bilamana ananda telah dapat turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap.
Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hirang serta taburi aku dengan beras kuning. Jika aku merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan diriku kedalam air, maka ananda harapkam agar ayah dan bunda mengiringi buihku ".
Keesokan harinya Petinggipun memerintahkan kepada anak buahnya untuk mencari bahan-bahan sebagaimana yang disampaikan anaknya dalam mimpi itu untuk membuat tangga. Setelah tangga selesai dibuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dalam mimpi, maka Petinggi pun berkatalah kepada sang naga : " Hai anakku marilah turuni tangga yang telah dibuat berdasarkan petunjukmu ".
Sang nagapun mengangkat kepalanya, kemudian merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju sungai dengan diiringi Petinggi Hulu Dusun disertai istrinya Babu Jaruma. Setelah sampai di air berenanglah sang naga berturut-turut tujuh kali ke arah hulu, kemudian tujuh kali ke arah ke hilir dan seterusnya berenang melalui Tepian Batu, sng naga kemudian tiga kali ke kanan dan selanjutnya menyelam masuk air.
Setelah sang naga tenggelam maka dengan tiba-tiba angin topan bertiup dengan dahsyatnya, kilat sambung-menyambung dengan mengerikan, guntur berdentum melebihi dahsyatnya suara meriam, gelombang besar mempermainkan perahu Petinggi. Petinggi dengan istrinya berkayuh sekuat tenaga untuk mencapai tepi, menghindari tenggelam digulung oleh gelombang.
Setibanya ditepi sungai, maka keadaan alam yang bagaikan kiamat tadi dengan tiba-tiba mereda, hanya hujan turun dengan rintik,angin bertiup dingin dan lembab guruh terdengar jauh sayup-sayup, teja menampakkan diri di langit keabu-abuan, pelangi membentang ke bumi dengan warna-warni yang cerah dan menyegarkan. Oh alangkah indahnya alam dilihat oleh Petinggi Hulu Dusun dengan Babu Jaruma. Mereka dua laki isteri terpesona melihat keindahan alam yang belum pernah dijumpainya selama mereka hidup, apa pula mereka baru mengalami suatu keadaan alam yang menggila seakan-akan untuk meniadakan mereka dari permukaan bumi ini. Pertanda apakah ini sebenarnya? Dan kemanakah sang naga yang merupakan anaknya, yang dipeliharanya sejak berbentuk sebagai ular, yang selalu dibelainya dengan kasih sayang, yang selalu dicumbuinya dengan kata-kaya yang manis? Kemanakah sang naga itu?
Sedang Petinggi dengan istrinya termenung memikirkan anak itu, maka dengan tiba-tiba Sungai Mahakam penuh dengan buih, sayup-sayup mata memandang hanya buih belaka yang kelihatan, demikian pula disekitar perahunya tidak kelihatan lagi air, seakan-akan dia berlayar diatas buih yang memutih bersih.
Petinggi dan Babu Jaruma berusaha untuk mengayuh perahunya secepat mungkin memasuki anak sungai Sudiwo, sedang mereka mengayuh sekuat tenagai itu, maka tiba-tiba terdengarlah dengan jelas di telinga Petinggi dan istrinya suara tangis bayi yang baru lahir, tertegunlah mereka dengan kedua-duanya, sambil menengok kesana dan kesini meneliti diantara buih menyusuri tangis bayi yang didengarnya. Tiba-tiba pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air. Kemudian nampak pula awan berarak ke atas buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air, kemudian nampak pula awan berarak keatas buih yang meninggi itu, seakan-akan memayungi dari pancaran sinar matahari, terlihat pula ditepi sungai di sekitar buih itu bunga-bunga bermekaran dan mengirimkan bau harumnya di sekitar tempat itu.
Babu Jaruma melihat di dalam buih itu seperti kemala yang berkilau-kilauan. Babu Jaruma memberitahukan suaminya, dan merekapun mengayuhkan perahunya menuju kemala itu, Setelah perahu makin mendekat, maka jelaslah apa yang dilihat itu buknlah sebuah kemala, akan tetapi seorang bayi yang bercahaya-cahaya terbaring di dalam gong. Tiba-tiba gong itu meninggi dan tampaklah nyata ada seekor naga yang menjunjung gong berisikan bayi itu. Semakin gong dan naga meninggi naik dari permukaan air terlihat pula seekor lembu yang menjunjung naga itu, lembu itu berjejak diatas sebuah batu.
Inilah " Lembu Suana " yang bentuknya tidak serupa dengan lembu yang ada selama ini, yang pernah dilihat oleh Petinggi bwersama istrinya Babu Jaruma. Lembu Suana ini berbelai gading seperti gajah, bertaring seperti macan, bertubuh sebagai kuda, bersayap dan bertaji seakan-akan garuda, berekor seperti naga, seluruh batang tubuhnya bersisik.
Melihat Lembu Swana ini maka hilanglah rasa takut kedua laki dan istri ini, bukankah binatang semacam ini tunggangan anak-anak dari Dewata? Apakah bayi yang terbaring didalam gong itu dengan demikian turunan Dewata yang dikirim ke dunia untuk dipelihara oleh Babu Jaruma, sebagai pengganti naga yang dipeliharanya dengan kasih sayang? Oh alangkah bahagianya kedua orang tua ini.
Perahu petinggi segera merapat pada batu dimana Lembu Swana itu berpijak, yang kemudian dengan perlahan-lahan batu itu tenggelam beserta Lembu Swanadan Naga sampai akhirnya yang tertinggal kelihatan hanya gong yang berisikan bayi dari kayangan itu. Babu Jaruma degan tangkas mengambil gong beserta bayi itu dan sesudah dapat dimasukkan ke dalam perahu. Bergegaslah kedua laki isteri itu berkayuh ketepian dengan suka citanya. Bayi tersebut diselimuti dengan kain kuning, lampinnya terdiri dari kain beraneka warna. Tangan kanannya memegang emas, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah telor. Sebelum perahu sampai ke tepian sungai, telor itupun pecah dan keluarlah seekor anak ayam betina.
Babu Jaruma sangat prihatin, karena teteknya tidak mengeluarkan air susu, bagaimanapun juga diperasnya pangkal teteknya namun tidak ada setetes airpun yang keluar, dan diapun putus asa sedangkan sang bayi menangis kelaparan.
Pada malam harinya sedang ia terlena, terdengarlah suara yang tegas ditajukan kepada Babu Jaruma "Hai Babu Jaruma, janganlah engkau susah hati, tepuklah susumu yang sebelah kanan, niscaya susumu akan memancar" Mendengar ini maka dicobalah untuk menepuk susunya yang sebelah kanan dan dengan tiba-tiba keluarlahair susu yang harum baunya seperti buah ambar dan kasturi. Sangatlah sukacitanya Babu Jaruma dan sang bayipun mulailah disusuinya sepuas-puasnya. sang bayi berhenti menangis dan tertidur, Babu Jaruma tertidur dengan wajah tersenyum. Petinggi Hulu Dusun memandang keadaain ini merasa bahagia, lalu membaringkan dirinya disisi Babu Jaruma, pikirannya menerawang jauh hatinya bersyukur kepada para Dewata di kayangan, karena cita-citanya terkabul untuk mendapatkan seorang anak. Akhirnya Petinggi tertidur dengan pulasnya sambil mendengkur sehebat-hebatnya.
Dikala Petinggi mendengkur ini, Babu Jaruma bermimpi mendengar suara yang ditujukan kepadanya "Hai Babu Jaruma yang berbahagia, anakmu itu supaya dipelihara dengan sebaik-baiknya dan berilah dia nama PUTERI KARANG MELENU, puteri ini adalah keturunan dari Dewa-Dewa di kayangan, sama dengan Puteri Junjung Buih dari daerah Banjar. Oleh karena itu Puteri Karang Melenu dapat juga diberi nama PUTERI JUNJUNG BUYAH.
" Dengarkanlah bagaimana engkau seharusnya memelihara puteri ini, selama empat puluh hari empat puluh malam janganlah Puteri Karang Melenu ini dibaringkan diatas tikar. Bilamana sesudah tiga hari tali pusatnya putus maka perlakukanlah dia seperti anak dari para raja yang berkuasa di alam maya ini. Bilamana sang puteri untuk pertama kali ingin mandi di sungai, maka hendaklah engkau mengadakan erau (pesta adat) dan pada upacara tijak tanah, maka sebelum kakinya menginjak tanah terlebih dahulu pijakkanlah kakinya kepada kepala manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. demikian juga sebelumnya dipijakkan kaki sang Puteri kepada kernbau hidup dan kerbau mati dan selanjutnya dipijakkan kepada besi. Barulah sesudah itu sang puteri dapat dijalankan di tanah ".
Dengan lenyapnya suara itu, maka terbangunlah Babu Jaruma dari tidurnya, segera dibangunkannya suaminya yang sedang tidur mendengkur itu dan kemudian diceritakannya apa yasng dialaminya di dalam mimpi.
" Jika demikian halnya, maka pesan dalam mimpi itu harus kita taati mulai sekarang ", demikian kata Petinggi Hulu Dusun
Setelah genaplah tiga hari tiga malam, maka tanggallah tali pusat Puteri Karang Melenu. Eraupun mulai dilaksanakan dengan meriah, beberapa puluh binatang disembelih, antara lain babi, kerbau, sapi kijang, menjangan, kambing, gimbal, itik dan angsa. Ramailah orang sekampung makan minum, ada yang sampai termuntah-muntah kekenyangan, banyak terkapar bergelimpangan karena mabuk minum tuak yang disediakan berpuluh-puluh tempayan.
Setelah tiga hari maka dengan penuh khidmat sang anakpun diberi nama Puteri Karang Melenu sesuai dengan pesan yang diperoleh dalam mimpi oleh Babu Jaruma. Suara gong dan gendang pada waktu pemberian nama ini, membuat Hulu Dusun gegap gempita, hingar bingar. Gamelan Eyang
Ayu dibunyikan meningkah bunyi gong dan gendang itu. Semua penduduk Hulu Dusun bergembira ria. Gadis-gadis dan para pria mengenakan pakaiannya yang sebaik-baiknya yang ada dalam simpanannya. Bunga melati dan bunga telur menghiasi gelung-gelung rambut dan ada pula yang menyisipkannya diantara daun telinga.
Mereka menari-nari terpisah-pisah, akan tetapi pandangan mata tidak bisa dilepaskan menatap kepada pilihan hatinya masing-masing. Banyak pilihan hati yang sama ditujukan kepada seorang saja dan sipilihan hati ini melayani semua pemujanya dengan melemparkan senyum kesana-kemari sehingga mereka saling cemburu-mencemburui. tapi meskipun sudah terlapis demikian ini masing0masing mengharapkan bahwa pilihan si gadis akhirnya kepada seorang. Oh, hati yang sedang bercinta.
Pada saat diadakannya erau berhubung terputusnya tali pusat dan pemberian nama Puteri Karang Melenu dari Hulu Dusun ini, tepat pada waktu itu juga Petinggi Jaitan Layar mengadakan upacara yang serupa, yakni tanggal tali pusat dan pemberian nama pada anaknya Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dikampung Jaitan Layarpun gong dan gendang dipukul orang bertalu-talu, gamelan gajah perwata dibunyikan.
Pria wanita menari dipisahkan, sambil matal liar mencari pilihan hatinya. demikianlah kedua anak kiriman dari para anak Dewa di kayangan untuk Petinggi Jaitan Layar dan Petinggi Hulu Dusun
sama-sama bertumbuh menjadi besar, masing-masing dipelihara secermat-cermatnya disedakan ramuan obat-obatan untuk menjaga agar sang anak tetap dalam kandungan sehat wal afiat, anak Petinggi Jaitan Layar bertumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan gagah, sedangkan anak Petinggi Hulu Dusun bertumbuh sebagai anak perempuan yang cantik manis. Meskipun keduanya masih kanak-kanak namun keelokan wajahnya terlihat dengan nyata, berlainan dengan pertumbuhan dengan anak-anak biasa.
Sesudah Puteri Karang Melenu menginjak usia lima tahun, maka sukarlah orang untuk menahannya tetap tinggal di dalam rumah, sang Puteri selalu bermain di tanah dan ingin mandi-mandi di sungai. Sesuai dengan pesan yang disampaikan kepada Babu Jaruma, maka Petinggi Hulu Dusun mulailah mengadakan persiapan-persiapan pesta pijak tanah untuk anaknya Puteri Karang Melenu.
Beberapa Petingi beserta orang-orang besar dari negeri-negeri yang berdekatan di undang untuk menghadiri upacara tijak tanah itu, yaitu dari Binalu, Sembaran, Penyangan, Senawan, Sangan, Kembang, Sungai Samir, Dundang, Manggir, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang dan Tanah Malang. Setiap penduduk Hulu Dusun sudah dibagi-bagikan pekerjaan apa yang harus dilakukannya untuk melaksnaakan upacara tijak tanah ini, baik wanita maupun pria. Untuk keperluan
Pada saat ular itu mau diambil, maka keajaibanpun timbul. Alam yang mulanya menggila dengan tiba-tiba mereda kembali. Cuaca menjadi cerah, cahaya mentari memancarkan cahayanya, menyedot warna-warninya, bunga-bungaan kelihatan mekar menantang gadis-gadis dan pemuda Hulu Dusun untuk menikmati keindahan alam dan mereka keluar bersuka ria dan saling berpandangan dan melempar senyum dari jarah jauh, karena adat tidak menginjinkan gadis dan jejaka saling bertegur sapa sebelum mereka diikat oleh perkawinan
Ular yang diketemukan dalam kasau tadi dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh Bambu Jaruma. Setiap harinya diberi makan, setiap saat dibelainya dengan penuh rasa kasih sayang dan diajaknya bermain-main. Tiap hari ular itu semakin besar dan akhirnya tempat sirih itu sudah tidak muat lagi untuk ditempati seluruh tubuhnya. Babu Jaruma pun mencari tempat yang lebih besar dan ular tersebut dipindahkan kesana. Tapi kenyataannya ular tersebut makin bertumbuh sehingga tempat tersebut pun tidak memenuhi syarat pula untuk tempat ular itu.
Akhirnya oleh Petinggi Hulu Dusun dibuatnyalah sebuah kandang yang besarnya setengah dari ruangan tengah rumahnya. ular tersebut bertumbuh terus, semakin besar dan akhirnya bukan merupakan seekor ular lagi akan tetapi merupakan seekor naga.
Petinggi menjadi khawatir dan berkatalah dia kepada istrinya : "Apakah yang harus kita perbuat, anak kita semakin besar dan akhirnya bisa menyesaki rumah kita ini, aku menjadi takut ". Babu Jaruma pun menjawab : " akupun juga menjadi takut, meskipun aku telah memeliharanya sejak sebagai seekor ular sampai menjadi seekor naga ". Keduanya masgul dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Pada suatu malam sang Petinggi Hulu Dusun yang tidur disisi naga itu bermimpi berjumpa dengan seorang gadis yang cantik jelita, yang tidak ada bandingannya dari gadis Hulu Dusun yang pernah dilihatnya.
Dengan ketawanya yang manis dimana terlihat barisan gigi yang putih bersih menghiasa wajahnya yang cerah, gadis menyapa Petinggi : " Ayo ayah dan bundaku tersayang, ananda sudah besar sehingga membawa ketakutan bagi ayah dan ibu serta penduduk disini. Sebaiknya ananda meninggalkan tempat ini. Untuk itu buatkanlah tangga, dimana ananda bisa meluncur kebawah ".
Paginya Petinggi segera bangun dan teringat terus akan mimpi itu. Segera diberitahukannya Babu Jaruma tentang mimpi itu. Kedua laki istri itupun mengumpulkan sanak keluarganya terdekat, kemudian berembuklah mereka bagaimana cara bagaimana membuat tangga yang diminta gadis jelita yang menjumpainya dalam mimpi itu.
Maka dibuatnyalah tangga dari kayu yang besar-besar dan anak-anak tangganya diikat dengan rotan yang kuat. Setelah tangga itu dipasang dimuka pintu rumah, Petinggipun mendekati naga sambil berkata " Wahai anakku tangga sudah selesai, sebaiknya engkau turun sekarang ".
Mendengar perkataan ini, maka sang naga menggerakkan kepalanya menjulur melewati ambang pintu dan hendaknya mulai merayap turun melewati tangga itu. Akan tetapi tangga itu berpatahan. sang nagapun menarik masuk kembali kepalanya dan melingkar kembali ketempat semula.
Melihat bahwa tangga yang dibuat itu kurang kuat, maka Petinggi pun menyuruh sanak keluarganya membuat tangga baru yang bahannya terbuat dari kayu ulin. Sesudah selesai maka dipersilahkannya lagi sang naga untuk menuruni tangga itu, akan tetapi tangga itu sama dengan tangga sebelumnya, hancur tidak dapat menahan berat badan dari sang naga.
Malam berikutnya sang Petinggi mendapat mimpi lagi, bahwasanya sang naga mengharap agar dia dapat diturunkan. Kata sang naga : " Buatkanlah tangga dari kayu lampung, sedangkan anak tangganya hendaknya dibuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Tangga yang dibuat dari bahan lain, meski dibuat dari besipun tidak sanggup menahan berat badanku. Bilamana ananda telah dapat turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap.
Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hirang serta taburi aku dengan beras kuning. Jika aku merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan diriku kedalam air, maka ananda harapkam agar ayah dan bunda mengiringi buihku ".
Keesokan harinya Petinggipun memerintahkan kepada anak buahnya untuk mencari bahan-bahan sebagaimana yang disampaikan anaknya dalam mimpi itu untuk membuat tangga. Setelah tangga selesai dibuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dalam mimpi, maka Petinggi pun berkatalah kepada sang naga : " Hai anakku marilah turuni tangga yang telah dibuat berdasarkan petunjukmu ".
Sang nagapun mengangkat kepalanya, kemudian merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju sungai dengan diiringi Petinggi Hulu Dusun disertai istrinya Babu Jaruma. Setelah sampai di air berenanglah sang naga berturut-turut tujuh kali ke arah hulu, kemudian tujuh kali ke arah ke hilir dan seterusnya berenang melalui Tepian Batu, sng naga kemudian tiga kali ke kanan dan selanjutnya menyelam masuk air.
Setelah sang naga tenggelam maka dengan tiba-tiba angin topan bertiup dengan dahsyatnya, kilat sambung-menyambung dengan mengerikan, guntur berdentum melebihi dahsyatnya suara meriam, gelombang besar mempermainkan perahu Petinggi. Petinggi dengan istrinya berkayuh sekuat tenaga untuk mencapai tepi, menghindari tenggelam digulung oleh gelombang.
Setibanya ditepi sungai, maka keadaan alam yang bagaikan kiamat tadi dengan tiba-tiba mereda, hanya hujan turun dengan rintik,angin bertiup dingin dan lembab guruh terdengar jauh sayup-sayup, teja menampakkan diri di langit keabu-abuan, pelangi membentang ke bumi dengan warna-warni yang cerah dan menyegarkan. Oh alangkah indahnya alam dilihat oleh Petinggi Hulu Dusun dengan Babu Jaruma. Mereka dua laki isteri terpesona melihat keindahan alam yang belum pernah dijumpainya selama mereka hidup, apa pula mereka baru mengalami suatu keadaan alam yang menggila seakan-akan untuk meniadakan mereka dari permukaan bumi ini. Pertanda apakah ini sebenarnya? Dan kemanakah sang naga yang merupakan anaknya, yang dipeliharanya sejak berbentuk sebagai ular, yang selalu dibelainya dengan kasih sayang, yang selalu dicumbuinya dengan kata-kaya yang manis? Kemanakah sang naga itu?
Sedang Petinggi dengan istrinya termenung memikirkan anak itu, maka dengan tiba-tiba Sungai Mahakam penuh dengan buih, sayup-sayup mata memandang hanya buih belaka yang kelihatan, demikian pula disekitar perahunya tidak kelihatan lagi air, seakan-akan dia berlayar diatas buih yang memutih bersih.
Petinggi dan Babu Jaruma berusaha untuk mengayuh perahunya secepat mungkin memasuki anak sungai Sudiwo, sedang mereka mengayuh sekuat tenagai itu, maka tiba-tiba terdengarlah dengan jelas di telinga Petinggi dan istrinya suara tangis bayi yang baru lahir, tertegunlah mereka dengan kedua-duanya, sambil menengok kesana dan kesini meneliti diantara buih menyusuri tangis bayi yang didengarnya. Tiba-tiba pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air. Kemudian nampak pula awan berarak ke atas buih yang sedang menggelembung naik meninggi dari permukaan air, kemudian nampak pula awan berarak keatas buih yang meninggi itu, seakan-akan memayungi dari pancaran sinar matahari, terlihat pula ditepi sungai di sekitar buih itu bunga-bunga bermekaran dan mengirimkan bau harumnya di sekitar tempat itu.
Babu Jaruma melihat di dalam buih itu seperti kemala yang berkilau-kilauan. Babu Jaruma memberitahukan suaminya, dan merekapun mengayuhkan perahunya menuju kemala itu, Setelah perahu makin mendekat, maka jelaslah apa yang dilihat itu buknlah sebuah kemala, akan tetapi seorang bayi yang bercahaya-cahaya terbaring di dalam gong. Tiba-tiba gong itu meninggi dan tampaklah nyata ada seekor naga yang menjunjung gong berisikan bayi itu. Semakin gong dan naga meninggi naik dari permukaan air terlihat pula seekor lembu yang menjunjung naga itu, lembu itu berjejak diatas sebuah batu.
Inilah " Lembu Suana " yang bentuknya tidak serupa dengan lembu yang ada selama ini, yang pernah dilihat oleh Petinggi bwersama istrinya Babu Jaruma. Lembu Suana ini berbelai gading seperti gajah, bertaring seperti macan, bertubuh sebagai kuda, bersayap dan bertaji seakan-akan garuda, berekor seperti naga, seluruh batang tubuhnya bersisik.
Melihat Lembu Swana ini maka hilanglah rasa takut kedua laki dan istri ini, bukankah binatang semacam ini tunggangan anak-anak dari Dewata? Apakah bayi yang terbaring didalam gong itu dengan demikian turunan Dewata yang dikirim ke dunia untuk dipelihara oleh Babu Jaruma, sebagai pengganti naga yang dipeliharanya dengan kasih sayang? Oh alangkah bahagianya kedua orang tua ini.
Perahu petinggi segera merapat pada batu dimana Lembu Swana itu berpijak, yang kemudian dengan perlahan-lahan batu itu tenggelam beserta Lembu Swanadan Naga sampai akhirnya yang tertinggal kelihatan hanya gong yang berisikan bayi dari kayangan itu. Babu Jaruma degan tangkas mengambil gong beserta bayi itu dan sesudah dapat dimasukkan ke dalam perahu. Bergegaslah kedua laki isteri itu berkayuh ketepian dengan suka citanya. Bayi tersebut diselimuti dengan kain kuning, lampinnya terdiri dari kain beraneka warna. Tangan kanannya memegang emas, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah telor. Sebelum perahu sampai ke tepian sungai, telor itupun pecah dan keluarlah seekor anak ayam betina.
Babu Jaruma sangat prihatin, karena teteknya tidak mengeluarkan air susu, bagaimanapun juga diperasnya pangkal teteknya namun tidak ada setetes airpun yang keluar, dan diapun putus asa sedangkan sang bayi menangis kelaparan.
Pada malam harinya sedang ia terlena, terdengarlah suara yang tegas ditajukan kepada Babu Jaruma "Hai Babu Jaruma, janganlah engkau susah hati, tepuklah susumu yang sebelah kanan, niscaya susumu akan memancar" Mendengar ini maka dicobalah untuk menepuk susunya yang sebelah kanan dan dengan tiba-tiba keluarlahair susu yang harum baunya seperti buah ambar dan kasturi. Sangatlah sukacitanya Babu Jaruma dan sang bayipun mulailah disusuinya sepuas-puasnya. sang bayi berhenti menangis dan tertidur, Babu Jaruma tertidur dengan wajah tersenyum. Petinggi Hulu Dusun memandang keadaain ini merasa bahagia, lalu membaringkan dirinya disisi Babu Jaruma, pikirannya menerawang jauh hatinya bersyukur kepada para Dewata di kayangan, karena cita-citanya terkabul untuk mendapatkan seorang anak. Akhirnya Petinggi tertidur dengan pulasnya sambil mendengkur sehebat-hebatnya.
Dikala Petinggi mendengkur ini, Babu Jaruma bermimpi mendengar suara yang ditujukan kepadanya "Hai Babu Jaruma yang berbahagia, anakmu itu supaya dipelihara dengan sebaik-baiknya dan berilah dia nama PUTERI KARANG MELENU, puteri ini adalah keturunan dari Dewa-Dewa di kayangan, sama dengan Puteri Junjung Buih dari daerah Banjar. Oleh karena itu Puteri Karang Melenu dapat juga diberi nama PUTERI JUNJUNG BUYAH.
" Dengarkanlah bagaimana engkau seharusnya memelihara puteri ini, selama empat puluh hari empat puluh malam janganlah Puteri Karang Melenu ini dibaringkan diatas tikar. Bilamana sesudah tiga hari tali pusatnya putus maka perlakukanlah dia seperti anak dari para raja yang berkuasa di alam maya ini. Bilamana sang puteri untuk pertama kali ingin mandi di sungai, maka hendaklah engkau mengadakan erau (pesta adat) dan pada upacara tijak tanah, maka sebelum kakinya menginjak tanah terlebih dahulu pijakkanlah kakinya kepada kepala manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. demikian juga sebelumnya dipijakkan kaki sang Puteri kepada kernbau hidup dan kerbau mati dan selanjutnya dipijakkan kepada besi. Barulah sesudah itu sang puteri dapat dijalankan di tanah ".
Dengan lenyapnya suara itu, maka terbangunlah Babu Jaruma dari tidurnya, segera dibangunkannya suaminya yang sedang tidur mendengkur itu dan kemudian diceritakannya apa yasng dialaminya di dalam mimpi.
" Jika demikian halnya, maka pesan dalam mimpi itu harus kita taati mulai sekarang ", demikian kata Petinggi Hulu Dusun
Setelah genaplah tiga hari tiga malam, maka tanggallah tali pusat Puteri Karang Melenu. Eraupun mulai dilaksanakan dengan meriah, beberapa puluh binatang disembelih, antara lain babi, kerbau, sapi kijang, menjangan, kambing, gimbal, itik dan angsa. Ramailah orang sekampung makan minum, ada yang sampai termuntah-muntah kekenyangan, banyak terkapar bergelimpangan karena mabuk minum tuak yang disediakan berpuluh-puluh tempayan.
Setelah tiga hari maka dengan penuh khidmat sang anakpun diberi nama Puteri Karang Melenu sesuai dengan pesan yang diperoleh dalam mimpi oleh Babu Jaruma. Suara gong dan gendang pada waktu pemberian nama ini, membuat Hulu Dusun gegap gempita, hingar bingar. Gamelan Eyang
Ayu dibunyikan meningkah bunyi gong dan gendang itu. Semua penduduk Hulu Dusun bergembira ria. Gadis-gadis dan para pria mengenakan pakaiannya yang sebaik-baiknya yang ada dalam simpanannya. Bunga melati dan bunga telur menghiasi gelung-gelung rambut dan ada pula yang menyisipkannya diantara daun telinga.
Mereka menari-nari terpisah-pisah, akan tetapi pandangan mata tidak bisa dilepaskan menatap kepada pilihan hatinya masing-masing. Banyak pilihan hati yang sama ditujukan kepada seorang saja dan sipilihan hati ini melayani semua pemujanya dengan melemparkan senyum kesana-kemari sehingga mereka saling cemburu-mencemburui. tapi meskipun sudah terlapis demikian ini masing0masing mengharapkan bahwa pilihan si gadis akhirnya kepada seorang. Oh, hati yang sedang bercinta.
Pada saat diadakannya erau berhubung terputusnya tali pusat dan pemberian nama Puteri Karang Melenu dari Hulu Dusun ini, tepat pada waktu itu juga Petinggi Jaitan Layar mengadakan upacara yang serupa, yakni tanggal tali pusat dan pemberian nama pada anaknya Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dikampung Jaitan Layarpun gong dan gendang dipukul orang bertalu-talu, gamelan gajah perwata dibunyikan.
Pria wanita menari dipisahkan, sambil matal liar mencari pilihan hatinya. demikianlah kedua anak kiriman dari para anak Dewa di kayangan untuk Petinggi Jaitan Layar dan Petinggi Hulu Dusun
sama-sama bertumbuh menjadi besar, masing-masing dipelihara secermat-cermatnya disedakan ramuan obat-obatan untuk menjaga agar sang anak tetap dalam kandungan sehat wal afiat, anak Petinggi Jaitan Layar bertumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan gagah, sedangkan anak Petinggi Hulu Dusun bertumbuh sebagai anak perempuan yang cantik manis. Meskipun keduanya masih kanak-kanak namun keelokan wajahnya terlihat dengan nyata, berlainan dengan pertumbuhan dengan anak-anak biasa.
Sesudah Puteri Karang Melenu menginjak usia lima tahun, maka sukarlah orang untuk menahannya tetap tinggal di dalam rumah, sang Puteri selalu bermain di tanah dan ingin mandi-mandi di sungai. Sesuai dengan pesan yang disampaikan kepada Babu Jaruma, maka Petinggi Hulu Dusun mulailah mengadakan persiapan-persiapan pesta pijak tanah untuk anaknya Puteri Karang Melenu.
Beberapa Petingi beserta orang-orang besar dari negeri-negeri yang berdekatan di undang untuk menghadiri upacara tijak tanah itu, yaitu dari Binalu, Sembaran, Penyangan, Senawan, Sangan, Kembang, Sungai Samir, Dundang, Manggir, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang dan Tanah Malang. Setiap penduduk Hulu Dusun sudah dibagi-bagikan pekerjaan apa yang harus dilakukannya untuk melaksnaakan upacara tijak tanah ini, baik wanita maupun pria. Untuk keperluan