Minggu, 22 Desember 2013
Minggu, 03 November 2013
SANGATTA DI MASA LAMPAU
Telah
kita ketahui bahwa Kota Sengata adalah ibu kota Kabupaten Daerah
Tingkat II Kutai Timur yang merupakan salah satu dari daerah
pemekaran dari kabupaten Kutai tahun 1999.
Orang-orang
Sengata awalnya berasal dari orang-orang pantun yang bertempat
tinggal di Hulu sungai Sengata yaitu di Sengata Kepet atau Selayar.
Untuk
mengetahui tempat itu ada suatu tanda yang pernah didiami oleh orang
Sengata dahulu yaitu berupa sebuah tangga behek namanya yang sampai
sekarang ini masih bisa kita lihat, yang pada waktu itu dipimpin oleh
seorang Kepala Adat yang namanya Gembara yang diangkat sebagai
Kepala Adat pada tahun 1678 dan pada tahun 1709 Kepala Adat Gembara
diganti oleh Kepala Adat yang baru yang bernama Djanti.
Sewaktu
Kepala Adat Gembara diganti oleh Kepala Adat Djanti, dimana saat itu
Djanti menguasai benua Sangatta Kepet yang orang-orangnya masih
menganut agama yang menyembah patung atau masih percaya dengan
orang-orang desa yang mempunyai kesaktian.
Waktu
itu bilamana ada orang yang mati atau meninggal dunia diwaktu siang
hari, ia dapat dihidupkan kembali dan bilamana pada malam hari tidak
dapat dihidupkan lagi, karena sudah ada perjanjian denga roh-roh
sakti dikayangan, Kepala Adat Gembara dan Djanti waktu itu masih
dekat orang-orang kayangan sakti.
Dengan
demikian pada waktu itu terjadi suatu percobaan dari Yang Maha Kuasa,
dimana anak dari kepala adat Djanti mati / meninggal dunia dimalam
hari maka dengan terpaksa karena Djanti sayang dengan anaknya dan
lagipula anak itu perempuan maka Djanti berusaha untuk
menghidupkannya dan ternyata berhasil, dengan demikian kepala adat
gembara dan Djanti telah melanggar sumpah dan perjanjian dengan
orang-orang dewa sakti di kayangan. Padahal sewaktu kepala adat
Gembara dan Djanti yang masih menguasai benua sengata kepet atau
benua selayar mereka masih taat atau bertuhan kepada dewa – dewa.
Maka dengan terjadinya pelanggaran sumpah dan janji
tersebut,hilanglah kekuasaanya. . Dengan demikian maka
diserahkanlah tahtanya kepada Singa Tua, untuk menjadi Kepala
Adat selanjutnya dibenua Sengata Kepet / benua selayar.
Wilayah
Kekuasaan Kepala Adat Singa Tua adalah dari benua Sengata Kepet
sampai dengan Tunggur Butuh, dimana letak tunggur butuh adalah
disebelah kiri mudik sungai sengata .
Tunggur
butuh tersebut dibuat dari kayu ulin untuk menjadi perbatasan dari
sangatta kepet, dan letaknya dikiri mudik sungai sangatta.
Pada
tahun 1721 terjadi pergantian kepala adat karena sakit dan digantikan
oleh kepala adat Singa Tua dan sengata kepet ditinggalkan. Dan dibuat
suatu kesepakatan dimana kepala adat membuat suatu tanda sebagai
untuk disembah kepada dewa setiap waktu, dimana tunggur butuh
tersebut terdiri dari kayu ulin yang tingginya kurang lebih 5 meter
dan lebarnya kurang lebih 60 cm, didalam ulin tersebut ada sebuah
guci besar dengan berukir seekor naga bersulai, dan tunggur tersebut
mempunyai ukiran binatang-binatang yang ada didunia ini.
Tunggur
Butuh ini terletak disebelah kiri mudik sungai sengata, yang
menandakan tempat asal benua sangatta yang sangat ramai, sesudah
benua sengata kepet ditinggalkan oleh kepala adat yang dulu, sehingga
perpindahan ini masih dipimpin oleh kepala adat Singa Tua .
Kepala
Adat Singa Tua mempunyai anak masing-masing :
1.Singa Geweh : Dan menikah mempunyai anak laki-laki yang
bernama TALI
2.Nung Bakung : Anak Singa Tua yang perempuan ini tidak bisa
berkelanjutan karena sewaktu berlayar dan sampai dimuara sangatta
lalu menghilang / gaib dan sampai sekarang tanda tempat menghilang
tersebut masih ada dimuara sungai sengata.
3. Singa Muda : Anak laki-laki mempunyai anak 5 orang yaitu :
KARTI, SENGKAR,SINAM, KACUP, dan KATIN
Setelah
16 tahun Singa Tua menjadi kepala Adat maka pada tahun 1737
terjadilah pergantian Kepala Adat yang baru yaitu anaknya sendiri
yang bernama Singa Geweh. Kepala adat Singa Geweh ini mengatur
masyarakatnya dengan aman dan tentram dan lama kelamaan benua
tersebut ditinggalkan karena ada terjadinya peperangan dengan
orang-orang Dayak dari Hulu Mahakam, dan tidak dapat ditahankan oleh
karena kurang peralatan dan akhirnya kepala Adat Singa Geweh mengajak
masyarakatnya untuk pindah kesuatu tempat yaitu di Benua Muda.
Sesudah
berpuluh tahun di Benua Muda tersebut, ada suatu percobaan dari Yang
Maha Kuasa yaitu terjadinya kemarau panjang, dimana sungai Sengata
sampai tidak ada lagi airnya, yang ada hanya airnya dicelah-celah
yang agak rendah tanahnya.
Dalam hal ini masyarakat di ajak untuk pindah lagi oleh kepala
adatnya yaitu menuju suatu benua yang ada airnya yaitu di Benua
Belahu Geruci, sehingga masyarakat mudik menuju tempat tersebut dan
berkumpullah masyarakat di Benua Belahu Geruci, dimana masyarakat
pada waktu cukup berkembang dan bertambahnya penduduk, walaupun air
tidak mencukupi, yang akhirnya oleh kepala adatt terpikir untuk
membagikan air yang cukup sulit itu kepada masyarakatnya, yang
diambil masing-masing ditempat :
1. Di
Belahu Geruci yang dinamakan Teluk Besar.
2.
Peler Sayus yang merupakan suatu rantau.
3.
Batu Wa’Ali yang merupakan tanda tempat duduk.
4.
Tangga Adji yang merupakan tempat naik raja.
Daerah
- daerah inilah yang termasuk dari kekuasaan Kepala Adat Singa Geweh.
Keterangan : Peler Sayus : adalah sebuah benda yang terdiri dari
sebuah batu yang berbekas seperti (maaf) peler ini terjadi sewaktu
sayus sedang duduk memncing ikan
Batu Wa’ Ali : adalah tanda suatu perlawanan yang hebat dari
orang-orang dayak yang banyaknya kurang lebih 400 orang, dan
perlawanan sengit terjadi yang dipimpin oleh Wa’ Ali dan terjadi
pertumpahan darah, dimana banyaknya orang – orang meninggal
sehingga darahnya mengalir ketepi sungai mengenai batu-batu tersebut
, sehingga sampai sekarang batu-batu didaerah itu agak kemerah
merahan.
Tangga Adji : Adalah suatu tempat yang digunakan oleh Keluarga Raja
Kutai dari Tenggarong, untuk naik dan turun menuju Sungai Bengalon,
suatu sungai tempat peristirahatan para keluarga Kutai (asal kata
Bungalow), dimana diatas tangga –tangga tersebut bertuliskan dengan
bahasa orang Bajau Tidung yang berkata sebuah pantun : “ Batu
Adji ilas berukir, ukiran anak si Raja Tidung.
Sesudah beberapa lamanya bertempat tinggal ditempat itu yaitu di
Belahu Geruci, kebatu wa’Ali sampai ke Benua asal sewaktu musim
bertemu dengan orang-orang Cina Lama yang banyak membawa berupa Guci,
piring, mangkok, sendok dll dan perkembangan di Benua Muda terus
bertambah penduduknya dan datanglah suatu percobaan dari Yang Maha
Kausa yaitu terjadi banjir desar yang melanda Kampung tersebut dan
oleh Kepala Adat diperintahkan kepada penduduk untuk mencari suatu
tempat yang lebih tinggi, selama banjir tersebut rumah penduduk
berhancuran dan selain itu datang pula serangan dari orang dayak
namun serangan itu gagal dan banyak orang-orang
Dayak tersebut mati terdampar disuatu tempat yang dinamakan Rapak
Malindun ( sekarang masih ada ), untuk mencari tempat yang tinggi dan
aman maka mereka segera pergi kehilir dan berlabuh di keham keham
yang cukup tinggi dan untuk menyelamatkan diri dari serangan banjir
dan penyerangan orang Dayak, maka banyak keham-keham yang disinggahi
antara lain :
- Keham Segelap : adalah dimana dikeham tersebut cahaya matahari tidak tampak dan sangat gelap.
- Keham Batu Apat : adalah suatu keham tempat persembunyian orang-orang dan bahasa Sengata menyebutkan bahwa orang Dayak tidak dapat melakukan serangan.
- Keham Batu Buam : adalah suatu tempat dimana orang Dayak tidak bisa mengepung dan buntu serangan.
4. Keham Sambut Tangan : adalah suatu keham yang untuk
menuju tempat tersebut harus bergantian dan saling sambut tangan.
5. Keham Batu Rumah : adalah suatu keham yang besar seperti
rumah dan tempat perlindungan orang-orang dalam pelarian.
6. Keham Batu Rumah : adalah keham tempat orang-orang
bersukat kemaluan yang panjang artinya siapa kemaluannya yang panjang
berarti dia berani melawan orang-orang Dayak.
7. Keham Deras Kelawit : adalah keham besar dan airnya cukup
deras dan kuat.
8. Keham Segimbal : adalah keham ditepi sebuah kampung dan
ada sebuah batu seperti kambing / gimbal dan sewaktu Erau terjadi
batu tersebut di sambar petir.
9. Aor Wa’ Alok : adalah bekas kampung yang saat ini
masih ada suatu peninggalan utamanya tempat masyarakat menyembah
berhala / patung.
Pada
tahun 1751 terjadilah pergantian Kepala Adat Singa Geweh kepada
Saudaranya Singa Muda, dimana Singa Muda ini berpuluh-puluh
tahun mengatur rakyatnya dangan baik , kemudian Kampung dipindahkan
lagi kesuatu tempat yang dianggap lebih baik lagi yaitu di Benua
Bendili, setelah beberapa tahun menempati
Benua Bendili, Kepala Adat diganti lagi karena sesuatu hal yang
dianggap oleh rakyatnya tidak memuaskan dan terjadilah pergantian
pada tahun 1781 dengan Kepala Adat Macan ( yang dianggap
terkuat di kampung tersebut).
Beberapa
tahun mendiami Benua Bendili, maka terjadilah perpindahan lagi dan
menempati suatu tempat yang diberi nama Benua Melawan yang berada
dikiri mudik sungai sengata.
Waktu
Benua Melawan dipimpin oleh Kepala Adat Macan disinilah tugas Kepala
Adat bertahan dari serangan orang-orang suku Dayak dan mengadakan
perlawanan yang dahsyat beserta rakyatnya, dengan semboyan oleh
Kepala Adatnya sampai tumpah darah yang penghabisan kami tetap
melawan , akhirnya berkat kekuatan dan kekompakan dengan rakyatnya,
maka ,Kepala Adat Macan berhasil mempertahankan Benua Melawan
dari serangan orang-orang Dayak sehingga sampai saat ini tertinggal
sebuah nama sungai melawan, dan mayat-mayat dari orang Dayak banyak
yang terdampar di sebuah sungai kecil yaitu sungai Loah Empang (dalam
bahasa daerah sengata artinya terdampar/terpampang), dengan
kemenangan tersebut dimana Kepala Adat Macan memang sudah lama
memangku Kepala Adat dan pada tahun 1801 Kepala Adat Macan meninggal
dunia dan diganti oleh Kepala Adat yang baru yaitu KARTI,
saat itu Karti adalah sebagai orang kedua (wakil) dari Kepala
Adat Macan .
Dengan
terjadinya pergantian Kepala Adat Macan yang meninggal dunia, dimana
beberapa tahun Kepala Adat Karti memimpin rakyatnya , pengaruh dari
Kepala Adat yang lama yaitu Macan masih ada , sebab kebanyakan
rakyatnya yang bertempat tinggal di melawan masih sayang dengan
Kepala Adat macan, karena keberaniannya dan
akhirnya kampung terbagi dalam 3 ( tiga ) yaitu keluarga Macan
memimpin diseberang kiri sungai melawan, dan
sungai Loah Empang seberang kiri mudik juga dibawah keluarga macan,
sedangkan dikampung Benua Kepung dan Sidung dikepalai oleh Kepala
Adat Karti.
Sungai
Sidung yang terletak di sebelah kiri sungai Sengata, sewaktu wakil
Kepala Adat Karti berkampung di Benua Kepung dan Sidung, setelah
beberapa lama datanglah serangan orang-orang Bajak Laut Bajau Tidung,
dan orang kampung bersembunyi di sungai Murung yang terletak
disebelah kanan sungai Sengata dan rakyat terkurung disana, sebab
benua kepung dan Sidung sudah diduduki oleh Bajak Laut atau Bajau
Tidung dan Kepala Adat Macan turun tangan disebabkan rakyatnya
terkurung tidak bisa keluar, Kepala Adat turun tangan dengan
rakyatnya mengepung orang Bajau Tidung, karena disitulah orang Bajau
Tidung terkepung oleh serangan dari Kepala Adat Macan.
Untuk
memusnahkan orang Bajau Tidung tersebut Kepala Adat meminta bantuan
kepada Kepala Adat yang lama yaitu Gembara yang pada waktu itu umur
Gembara sudah lebih 100 tahun, tetapi masih mempunyai tenaga yang
kuat dan sakti maka oleh Gembara meminta kepada Dewa Sakti, sehingga
semua orang Bajau Tidung tertidur dan bekas Kepala Adat Gembara lalu
mengiris semua hidung orang-orang Bajau Tidung tersebut, sehingga
tempat tersebut terjadilah sebuah danau yang sampai saat ini masih
ada yaitu Danau Sidung.
Setelah
orang Bajau Tidung sudah tidak ada lagi, maka diaturlah benua
tersebut dengan sebaik-baiknya oleh Kepala Adat Karti dan
masyarakatnya berhanyut lagi kehilir untuk menuju Benua yang baru
lagi yaitu Benua Buntu Bandir dan Behulu Gung, dua benua tersebut
diatur sedemikian rupa oleh Kepala Adatnya, dan oleh Kepala adat
diadakan suatu sayembara atau perlombaan kampung dan diundang seluruh
masyarakat yang ada disekitar kampung Sengata, seluruh bekas Kepala
Adat yang masih hidup diundang semua untuk berlomba menyeberang
sungai Belahu Gong dengan membawa sebuah gong dengan memegang
benjolan gong tersebut, siapa yang menang akan mendapatkan sebuah
Guci besar yang berukir naga bersulai, dimana warna guci tsb
kekuningan dengan tinggi 160 cm dan guci tsb terdiri dari 2 buah (
laki dan bini ) guci tersebut berasal dari bekas kepala Adat Gembara,
oleh karena Gembara kalah dalam perlombaan, terpaksa guci tsb diambil
alih oleh Kepala Adat Karti.
Akan
tetapi oleh Karti diambil kebijaksanaan guci yang dua buah itu dibagi
oleh Karti dengan pembagian yang satu untuk usbah yang laki dan yang
satu untuk usbah yang perempuan.
Berhubungan
bekas Kepala Adat Gembara malu maka secara sembunyi guci yang untuk
usbah perempuan dibawanya lari sampai keutara Sengata yaitu kesebuah
kampung di Kecamatan Sangkulirang yaitu Kampung Manubar, sampai saat
ini guci yang untuk usbah laki-laki berada di Sangatta dan guci yang
untuk usbah perampuan ada di Manubar.( sekarang kec. Sandaran)
Guci
untuk usbah laki – laki sampai kini masih
berada dirumah Ibu gomariah/Embung binti Amir ( Jl. Diponegoro
Sengata utara).
Setelah
terjadi perlombaan belahu gung, rakyat yang berdiam di kampung Benua
Kepung menghilir lagi dan pindah kesebuah kampung yaitu buntu Bandir
yang artinya suatu tempat yang orang kampung terdahulu banyak yang
mati hampir setiap jam sehingga mayat-mayat tersebut terlambat untuk
dikuburkan dan banyak yang busuk ( Bahasa Sengata Buntuk/Bontok ),
kematian ini diakibatkan oleh suatu penyakit yang dinamakan penyakit
dingin ( mayat bertambah hingga tertimbun ) dan disimpan di bawah
pohon besar ( bahasa daerah disimpan dibanernya ).
Lama
kelamaan masyarakat banyak berkurang karena banyak yang terkena
penyakit dingin dan akhirnya Kepala Adat Karti diganti dengan Kepala
Adat yang baru yaitu TALI ini terjadi pada tahun 1830, sejak
dipimpin oleh Kepala Adat Tali inilah segala hasil kampung disetorkan
/ memasukkan uang belasteng ( pajak uang Kepala ) dan uang ini
disetorkan ke kerajaan Kutai di Tenggarong. Dengan berkembangnya
sengata pada waktu itu maka pada tahun 1830 suatu Perusahaan Minyak
Asing Mulai masuk ke sangatta yaitu Perusahaan NKPM bergerak
dibidang perminyakan dan yang pertama beroperasi dalam pengeboran
yaitu di sungai Melawan, sedangkan sisa-sisa peralatan NKPM yang
berupa pipa masih ada di sungai Melawan Sengata.
Penghasilan
rakyat pada waktu itu adalah Rotan, Damar, sarang burung dan sirap.
Pada
tahun itu Kepala Adat Tali menunaikan ibadah haji dan Kepala Adat di
wakili oleh Kepala Adat Bungul, tetapi sampai beberapa tahun Kepala
Adat Tali di tunggu kedatangannya juga tidak ada berita, tetapi
setelah beberapa tahun beberapa tahun kemudian ada berita bahwa
Kepala Adat TALI telah meninggal dunia di Mekkah ( dalam menunaikan
ibadah haji ), setelah mendengar hal tersebut maka terjadi pergantian
Kepala Adat dimana Wakil Kepala Adat BUNGUL diangkat menjadi
Kepala Adat.
Pergantian
ini terjadi pada tahun 1842, dengan dipimpin Kepala Adat Bungul,
hasil hutan sudah mulai meningkat dan pada waktu itu oleh Sultan
Kutai telah menugaskan RADEN BENDAHARA untuk membeli dan
memungut cukai hasil hutan.
Tetapi
rupanya oleh rakyat di Sengata hasil hutan tersebut dijual secara
langsung kepada para pembeli yang masuk ke Sengata, maka Raden
Bendahara marah karena setiap ke Sengata untuk mengambil hasil hutan
dan cukai selalu hasil hutan itu sudah tidak ada lagi dikarenakan di
jual oleh masyarakat ke pedagang lain, akhirnya Raden Bendahara
mengeluarkan suatu sumpah kepada orang lain yang berusaha mencari
hasil hutan yang katanya : BILAMANA SAYA MEMANG TUTUS RAJA, ATAU
KETURUNAN RAJA KUTAI, MAKA 7 (TUJUH) TURUN ORANG-ORANG YANG ADA DI
SENGATA TIDAK MENDAPATKAN SELAMAT DAN HASIL HUTAN MUSNAH SELAMA ITU.
Dengan
sumpah itu rupanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa sehingga terjadi
suatu musibah kemarau panjang selama 1 (satu) tahun penuh, sehingga
semua hasil hutan yang ada di Sengata habis musnah terbakar, dan
sampai saat ini sebiji rotanpun tidak ada lagi di Sengata, akibat
sumpah dari Raden Bendahara dari Kerajaan Kutai Tenggarong (karena
menurut hitungan sampai saat ini baru terjadi 6 (lima) turunan dan
masih ada 1 (satu) turunan lagi.
Dan
pada tahun 1855 terjadi pergantian Kepala Adat yang baru di pimpin
oleh Kepala Adat SAMPAI, dimana Kepala Adat Sampai memimpin
dengan baik rakyatnya sehingga usaha yang tidak mungkin ada pada
waktu itu diusahakan, karena kita ketahui bahwa dengan adanya sumpah
Raden Bendahara tadi, maka rakyat Sengata sudah mulai kehilangan mata
pencaharian, dan diusahakan oleh Kepala Adat Sampai supaya ada usaha
yang baik, yaitu mencari usaha lain antara lain bertani, mencari ikan
dll.
Pada
tahun 1901 Kepala Adat Sampai diganti sekaligus pada waktu terjadi
pergantian sebutan dari Kepala Adat menjadi Petinggi, yang menjabat
pertama menjadi petinggi adalah BIJAK dan pada waktu itu Imam
sudah ada, dan dijabat oleh Imam Saong, wakil imam bernama
Sendawar. Pada waktu petinggi Bijak memimpin masuk lagi
Perusahaan Perminyakan yang bernama Kolnia pada tahun 1903,
dan pengeboran dimulai disekitar ST. 1 yang sekarang ini. Belum
sampai 2 tahun berjalan Perusahaan tersebut tutup kembali, dimana ini
terjadi pada waktu perang dengan sekutu sehingga usaha perminyakan di
Sengata sepi kembali.
Pada
tahun 1930 telah masuk kembali Perusahaan perminyakan B.P.M (
Batafsche Petrelium Maschapey ) di Sengata dan banyak masyarakat
Sengata yang dapat ditampung bekerja di B.P.M. tersebut dan telah
melakukan pengeboran di daerah Sengata dan sekitarnya yaitu
ST.1,2,3,4,5 dan 6, terakhir pada tahun 1945 waktu terjadi peristiwa
Merah Putih dimana Sengata pada waktu itu telah dimasuki tentara
Belanda kurang kebih 10 orang dan beberapa orang dari suku Timor dan
keamanan dari pihak Indonesia kurang lebih 12 orang yang dipimpin
oleh Arip ( orang berasal dari Kalsel ).
Pada
tahun 1955 perusahaan perminyakan B.P.M tutup kembali dan pindah ke
sanga-sanga, dan keadaan Sengata kembali sepi, dan pekerja rakyat
hanya menebang kayu, membuat sirap dan adanya kehutanan / perhutani,
sehingga pada waktu itu pencaharian rakyat Sengata bisa tertampung.
Pada
tahun 1967 Kepala Kampung sengata dijabat oleh ABDUL RIFAI GANI,
keadaan Sengata mulai ramai karena dengan masuk kembali perusahaan
perminyakan pertamina, sebelum ini orang-orang kampung masih tinggal
di Sengata I, ialah sengata ilir sekarang ini dan sesudah itu pindah
lagi ke kampung Sengata II atau Masabang sekarang ini.
Dengan
dibukanya perminyakan di Sengata, maka mulailah penduduk Sengata
bertambah banyak, karena dengan datangnya orang dari luar daerah
Sengata, karena bekerja di Sub Kontraktor Pertamina.
Pada
tahun 1977 penduduk Sengata cukup padat yang pada waktu itu tercatat
sebanyak 7.200 jiwa, dengan demikian keadaan cukup rawan karena
sering terjadi beberapa perkelahian dan lain-lain.
Pada
tahun 1972 pada saat Kepala Kampung dijabat M. PITAL B maka
mulai saat itulah terjadi pergantian Kepala Kampung selama 5 tahun
sekali dan berakhir pada tahun 1977, dan waktu itu diadakan pemilihan
Kepala Kampung, tetapi berhubung sesuatu dan lain hal pemilihan
terpaksa dibatalkan dan ditunjuk Wakil Kepala Kampung pada waktu itu
sdra. ABDUL HAMID K sebagai Kepala Kampung, dengan Imam
P.3.NTR di Sengata adalah sdra, ISMAIL M yang dijabatnya sejak
tahun 1976..
Sabtu, 02 November 2013
Jumat, 04 Oktober 2013
PETUNJUK TEKNIS PARADE BUDAYA
HARI ULANG TAHUN
KABUPATEN KUTAI TIMUR KE-14
Latar Belakang
Dinamika masyarakat yang ada di kabupaten Kutai Timur telah mengalami pembangunan yang sangat pesat, hal ini ditandai dengan majunya tingkat perekonomian masyarakat, pembangunan infrastruktur di segala sektor, serta kemajemukan suku yang ada di kabupaten ini. Sehubungan dengan kemajemukan suku ini diharapkan dapat menjadi pemersatu bangsa dalam mewujudkan cita-cita untuk kesejahteraan dan ketentraman masyarakat yang ada di Kabupaten Kutai Timur.
Seiring dengan dinamika masyarakat tersebut, maka dalam rangka memeriahkan HUT Kutai Timur ke-14, pada salah satu rangkaian acaranya adalah Pawai atau Parade Budaya dimana setiap kontingen akan mengaktualisasikan potensi budaya yang dimiliki sehingga dapat memacu kreatifitas pelaku-pelaku budaya dalam melestarikan kearifan budaya lokal.
- Pertemuan teknis (technical meeting) akan dilaksanakan pada tanggal 8 Oktober 2013 Jam 10.00 bertempat di kantor Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kutai Timur Jl.Soekarno Hatta Kawasan Perkantoran Bukit Pelangi.
- Pelaksanaan Gladi Bersih Tgl 10 Oktober, bertempat di Jl.APT.Pranoto s/d Depan Hotel Golden.
- Jumlah peserta pawai maksimal 40 orang perkontingen.
- Materi parade diharapkan tidak bertentangan dengan SARA.
- Peserta berhak untuk membawa alat musik sebagai pengiring atraksi pawai baik dalam bentuk CD ataupun instrumen musik lainnya ( termasuk sound system ).
- Kostum yang digunakan menggambarkan pakaian adat daerah masing-masing dengan mengutamakan asas etika kesopanan.
- Sinopsis disampaikan pada wsaktu Gladi Bersih sebanyak 3 rangkap.
- Peserta tidak diperkenankan menampilkan foto tokoh atau seseorang.
- Pengambilan nomor urut peserta dilaksanakan pada saat technical meeting.
- Hal-hal yang belum jelas dalam petunjuk teknis ini akan disampaikan dalam technical meeting atau dapat ditanyakan langsung ke panitia bagian lomba parade / pawai budaya.
Rencana Susunan / Defile
- Pembawa bendera.
- Pembawa papan nama kontingen peserta.
- Pembawa spanduk tema kontingen peserta ( jika ada ).
- Peserta pawai, lengkap dengan property.
- Pemain musik / sound system.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Parade dan pergelaran budaya akan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2013 mulai pukul 14.00 Wita sampai dengan selesai dan bertempat atau start di halaman Kantor Kecamatan Sangatta Utara dan finish di halaman Kantor Kecamatan Sangatta Utara.
Penilaian
Penilaian akan dilakukan oleh tim juri yang ditunjuk dan ditetapkan oleh panitia, dan penilaian dilakukan pada saat atraksi selama maksimal 3 menit di tempat yang telah ditentukan.
Kriteria Penilaian :
- Konsep bertemakan daerah setempat
- Daya tarik
- Keunikan / Inovasi
- Harmonisasi dan kekompakan
Penghargaan
Panitia akan memberikan penghargaan untuk 5 kategori.
Sekretariat Panitia Pendaftaran Pawai Budaya HUT Kutim 2013.
Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kutai Timur Jl.Soekarno Hatta, Kawasan Perkantoran Bukit Pelangi.
Contact Person Pawai Budaya
Bapak Drs. Budi Amuranto
Ibu Orva septi Yusuf
Makmur Deapati, S. Sn
Andi Budiman
Senin, 02 September 2013
SEJARAH DAYAK WAHAU
Kecamatan Muara Wahau adalah bagian dari wilayah Kabupaten Kutai Timur dengan luas wilayah 5724.32 km2. Keseluruhan wilayah Muara Wahau yang cukup luas ini mencakup hutan dan dan dibelah oleh sungai, curah hujan yang terbanyak terjadi di bulan November yaitu sekitar 460 mm, dan curah hujan terendah sekitar bulan Februari yaitu 53 mm, dataran rendah dan dataran tinggi terdapat di sekitar sungai besar dan agak ke hulu dengan bentuk bergelombang, sedang di pedalaman sudah bergunung-gunung. Wilayahnya masih mengandalkan alam sekitar, yaitu sisi utara hingga pegunungan Meratus, sisi barat hingga sungai Muara Ancalong, sisi selatan hingga jeram sungai Bengalon dan sisi timur hingga sungai Telen
Ada banyak suku lokal yang mendiami di daerah Kutai Timur, dan salah satu diantaranya adalah Suku Dayak Wahau atau Dayak Wehea. Suku Dayak Wehea mayoritas bermukim di Kecamatan Muara Wahau, suku Dayak Wehea menurut cerita juga pernah menjadi bagian dari kerajaan Kutai Katanegara, ketika kerajaan tersebut dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda, para suku adat di Kalimantan Timur termasuk ketua suku Wehea, mendapat gelar dari kerajaan Kutai Kartanegara. Ketua adat ( raja ) suku Wehea mendapat gelar " Raja Alam ". Setelah itu pengganti Raja Alam mendapat gelar Raden Prana, setelah itu penggantinya mendapat gelar Mas Muda.
Ada banyak suku lokal yang mendiami di daerah Kutai Timur, dan salah satu diantaranya adalah Suku Dayak Wahau atau Dayak Wehea. Suku Dayak Wehea mayoritas bermukim di Kecamatan Muara Wahau, suku Dayak Wehea menurut cerita juga pernah menjadi bagian dari kerajaan Kutai Katanegara, ketika kerajaan tersebut dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda, para suku adat di Kalimantan Timur termasuk ketua suku Wehea, mendapat gelar dari kerajaan Kutai Kartanegara. Ketua adat ( raja ) suku Wehea mendapat gelar " Raja Alam ". Setelah itu pengganti Raja Alam mendapat gelar Raden Prana, setelah itu penggantinya mendapat gelar Mas Muda.
Seperti halnya dengan tradisi wilayah yang lain, suku Wehea juga membayar Bayah (upeti) ke kerajaan Kutai Kartanegara, bentuk upeti yang disetorkan bukan berupa uang akan tetapi berbentuk barang, rombongan yang akan membayar bayah tersebut mengarungi sungai dengan menggunakan perahu, dan kadang membutuhkan dua minggu untuk mencapai ke kerajaan Kutai Kartanegara, sedangkan pulangnya justru akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi karena mereka harus mementang arus sungai.
Setiap ada pesta Erau yang dilaksanakan oleh kerajaan orang-orang Wehea datang ke pesta Erau tersebut karena diundang oleh Raja, mereka biasanya menari di acara tersebut
Pada dasarnya suku Wehea merupakan kelompok masyarakat Dayak yang tertua yang ada di Kutai Timur
Pada dasarnya suku Wehea merupakan kelompok masyarakat Dayak yang tertua yang ada di Kutai Timur
Kamis, 01 Agustus 2013
LEGENDA GUNUNG BATU TONDOYAN
Ada lima bersaudara tinggal di hulu sungai Bengalon, yang tertua laki-laki bernama Ayus berperawakan tinggi besar dan mempunyai kesaktian, dia mempunyai adik laki-laki yang bernama Sentang, Songo dan Setu, serta adk perempuan bernama Silu yang mempunyai kemampuan atau kesaktian dalam hal masak-memasak.
Rabu, 24 Juli 2013
DAFTAR REFERENSI DAN SUMBER ACUAN
www.kriyalea.com, kain tenun ulap doyo
www.kutaikartanegara.com
www.kutaikartanegara.go.id
www.wikipedia.org
www.kutaikartanegara.com
www.kutaikartanegara.go.id
www.wikipedia.org
Senin, 08 Juli 2013
OLAHRAGA TRADISIONAL
MENYUMPIT
Banyak masyarakat adat memiliki sumpit misalnya di suku Dayak Indonesia dan suku suku pribumi di Amerika Selatan . Sumpit biasanya berbentuk tabung yang memungkinkan panah kecil yang ditembak melesat ke sasaran. Di Jepang, Sumpit disebut fukiya digunakan samurai digunakan sebagai senjata untuk mematikan musuh yang anak sumpitnya diracuni dengan racun dari ikan buntal.
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
Sumpit tradisional terdiri tabung bambu atau kayu yang panjangnya 1-3 m , Sumpit dilengkapi dengan anak sumpit dengan bentuk bulat kira-kira diameternya kurang dari 1 cm. Anak sumpit (damek) dapat terbuat dari bambu yang salah satu ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu yang massanya ringan (dari kayu pelawi). Ini berfungsi supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus atau sebagai penyeimbang saat lepas dari buluh. Sedangkan ujung yang lain runcing dan biasanya diberi racun yang sangat mematikan binatang buruan. Racun terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan hutan dan sampai saat ini masih belum ada penawar racunnya. Sumpit digunakan dengan cara ditiup. Kuat tidaknya napas penyumpit akan menentukan sejauh mana jarak anak sumpit dapat melesat ke sasarannya
Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dan pada bagian inilah anak sumpit dimasukkan lalu ditiup. Antara Buluh sumpit dan anak sumpit memiliki ketergantungan yang tinggi (saling mendukung). Walaupun buluhnya bagus tetapi anak sumpit dibuat sembarangan maka hasilnya juga kurang memuaskan serta sebaliknya. Artinya kedua saling beperan penting dalam ketepatan mengenai sasaran/mangsa walaupun juga napas penyumpit serta kemahiran juga sangat berperan penting disini.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya, Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang disebut damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dan sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran. Racun damek oleh etnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking
Sumpit Sebagai Olahraga
Fungsi sumpit bukan lagi untuk berburu atau untuk berperang melainkan diperlombakan pada olahraga-olahraga daerah. Menjadi nomor olahraga yang diperhitungkan pada setiap pertandingan yang selenggarakan di daerah. Olahraga sumpit tidak jauh berbeda dengan olahraga yang lainnya seperti olahraga tembak atau olahraga panah. Biasanya untuk sasarannya dibuat lingkaran dari karton atau kertas. Peserta lomba berlomba-lomba untuk mengenai lingkaran yang telah dibuat dengan jarak yang telah ditentukan oleh panitia lomba. Di Jepang olahraga sumpit dibina oleh International Fukiyado Association (IFA) .
Cara Pembuatan Sumpit
Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ketrampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta. Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.
LOGO
Banyak masyarakat adat memiliki sumpit misalnya di suku Dayak Indonesia dan suku suku pribumi di Amerika Selatan . Sumpit biasanya berbentuk tabung yang memungkinkan panah kecil yang ditembak melesat ke sasaran. Di Jepang, Sumpit disebut fukiya digunakan samurai digunakan sebagai senjata untuk mematikan musuh yang anak sumpitnya diracuni dengan racun dari ikan buntal.
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
Sumpit tradisional terdiri tabung bambu atau kayu yang panjangnya 1-3 m , Sumpit dilengkapi dengan anak sumpit dengan bentuk bulat kira-kira diameternya kurang dari 1 cm. Anak sumpit (damek) dapat terbuat dari bambu yang salah satu ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu yang massanya ringan (dari kayu pelawi). Ini berfungsi supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus atau sebagai penyeimbang saat lepas dari buluh. Sedangkan ujung yang lain runcing dan biasanya diberi racun yang sangat mematikan binatang buruan. Racun terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan hutan dan sampai saat ini masih belum ada penawar racunnya. Sumpit digunakan dengan cara ditiup. Kuat tidaknya napas penyumpit akan menentukan sejauh mana jarak anak sumpit dapat melesat ke sasarannya
Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dan pada bagian inilah anak sumpit dimasukkan lalu ditiup. Antara Buluh sumpit dan anak sumpit memiliki ketergantungan yang tinggi (saling mendukung). Walaupun buluhnya bagus tetapi anak sumpit dibuat sembarangan maka hasilnya juga kurang memuaskan serta sebaliknya. Artinya kedua saling beperan penting dalam ketepatan mengenai sasaran/mangsa walaupun juga napas penyumpit serta kemahiran juga sangat berperan penting disini.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya, Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang disebut damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dan sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran. Racun damek oleh etnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking
Sumpit Sebagai Olahraga
Fungsi sumpit bukan lagi untuk berburu atau untuk berperang melainkan diperlombakan pada olahraga-olahraga daerah. Menjadi nomor olahraga yang diperhitungkan pada setiap pertandingan yang selenggarakan di daerah. Olahraga sumpit tidak jauh berbeda dengan olahraga yang lainnya seperti olahraga tembak atau olahraga panah. Biasanya untuk sasarannya dibuat lingkaran dari karton atau kertas. Peserta lomba berlomba-lomba untuk mengenai lingkaran yang telah dibuat dengan jarak yang telah ditentukan oleh panitia lomba. Di Jepang olahraga sumpit dibina oleh International Fukiyado Association (IFA) .
Cara Pembuatan Sumpit
Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ketrampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta. Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.
LOGO
GASING
TRADISI SASTRA LISAN : TARSUL
TARSUL
BEMAMAI
NGAPEH
BADENDANG
Seni bertutur atau berceritera merupakan bagian dari seni vokal, dalam bertutur tersebut kisah yang sering ceriterakan biasanya adalah cerita rakyat, cerita kepahlawanan, cerita sejarah, cerita pendidikan moral dan etika. Ceritera bertutur hampir dijumpai di seluruh nusantara seperti Macapatan di Jogja dan Jawa Tengah, Ma'sinrili pada suku Makassar, Kecaping pada suku Bugis, dan Tarsul pada suku Kutai di Kalimantan Timur.
Tarsul merupakan kesenian yang msih sangat digemari oleh masyarakat suku Kutai, dan sampai saat ini regenerasi dan eksistensi kesenian Tarsul masih tetap berlanjut. Kesenian Tarsul boleh dimainkan baik anak-anak, dewasa maupun orang tua, laki-laki maupun perempuan. Tarsul yang ada pada masyarakat suku Kutai umumnya diiringi dengan alunan musik tingkilan atau gambus, terkadang pula tanpa diiringi oleh musik jadi hanya mengandalkan vokal penyaji tarsul.
Format tarsul .......
BEMAMAI
NGAPEH
BADENDANG
Selasa, 04 Juni 2013
SEJARAH SINGA GEWEH, SINGA KARTI DAN SINGA GEMBARA
Keberadaan Sangatta sebagai bagian dari Kabupaten Kutai Kartenegara tidak terasa lagi. Sejak tahun 1999 wilayah yang dahulu merupakan wilayah Bengalon termasuk penguasa wilayah sungai Sangatta sudah menjadi wilayah Kabupaten Kutai Timur, Namun demikian, kekuatan sebagai bagian dari Kerajaan Kutai Kartanegara masih juga diingat dan menjadi kekuatan jiwa masyarakatnya. Seperti nama Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara masih sangat melekat pada masyarakat lokal Sangatta.
Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara adalah orang kepercayaan Sultan Kutai Kartanegara. Mereka ini mengorbankan dirinya menjadi makhluk gaib berwujud singa, Raja Kutai memberikan mereka mandat kepada "makhluk gaib " ini untuk selamanya menjaga hutan di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara. Bagi orang-orang yang akan ke hutan sebelumnya harus membaca mantera khusus, dengan membaca mantera tersebut maka " SANG SINGA " tersebut tahu bahwa yang masuk ke hutan tersebut adalah masih keturunan raja dan tidak akan mengganggunya.
Seperti dijelaskan diawal SEJARAH BENGALON, wilayah Bengalon merupakan wilayah khusus bagi Kerajaan Kutai Kartanegara, wilayahnya mencakup daerah antara sungai Sangatta di bagian Selatan dan sungai Kaliorang di sisi utara. Wilayah sungai Sangatta menjadi "wilayah lain" dan dikelola oleh Ketua Adat yang ditunjuk oleh Sultan Kutai Kartanegara. Berdasarkan sejarah, tercatat nana-nama Kepala Adat di wilayah Sangatta, antara lain :
1. Gembara ( 1678 - 1709 )
2. Djanti ( 1709 - 1721 )
3. Singa Tua ( 1721 - 1737 )
4. Singa Geweh ( 1737 - 1`751 )
5. Singa Muda ( 1751 - 1781 )
6. Macan ( 1781 - 1801 )
7. Karti ( 1801 - 1830 )
8. Tali ( 1830 - 1842 )
9. Bungul ( 1842 - 1855 )
10. Sampai ( 1855 - 1901 )
Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara adalah orang kepercayaan Sultan Kutai Kartanegara. Mereka ini mengorbankan dirinya menjadi makhluk gaib berwujud singa, Raja Kutai memberikan mereka mandat kepada "makhluk gaib " ini untuk selamanya menjaga hutan di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara. Bagi orang-orang yang akan ke hutan sebelumnya harus membaca mantera khusus, dengan membaca mantera tersebut maka " SANG SINGA " tersebut tahu bahwa yang masuk ke hutan tersebut adalah masih keturunan raja dan tidak akan mengganggunya.
Seperti dijelaskan diawal SEJARAH BENGALON, wilayah Bengalon merupakan wilayah khusus bagi Kerajaan Kutai Kartanegara, wilayahnya mencakup daerah antara sungai Sangatta di bagian Selatan dan sungai Kaliorang di sisi utara. Wilayah sungai Sangatta menjadi "wilayah lain" dan dikelola oleh Ketua Adat yang ditunjuk oleh Sultan Kutai Kartanegara. Berdasarkan sejarah, tercatat nana-nama Kepala Adat di wilayah Sangatta, antara lain :
1. Gembara ( 1678 - 1709 )
2. Djanti ( 1709 - 1721 )
3. Singa Tua ( 1721 - 1737 )
4. Singa Geweh ( 1737 - 1`751 )
5. Singa Muda ( 1751 - 1781 )
6. Macan ( 1781 - 1801 )
7. Karti ( 1801 - 1830 )
8. Tali ( 1830 - 1842 )
9. Bungul ( 1842 - 1855 )
10. Sampai ( 1855 - 1901 )
SEJARAH BENGALON
Secara khusus disebutkan bahwa wilayah Bengalon yang sekarang merupakan wilayah administrasi Kutai Timur, namun pada waktu jaman Kerajaan Kutai Kartanegara, Bengalon merupakan wilayah Sumahan. Wilayah Sumahan adalah daerah yang dijadikan barang mahar waktu perkawinan Raja Kutai bernama Aji Batara Agung Paduka Nira ( 1350 - 1360 ) dengan Paduka Suri ( putri dari kepala pemerintahan wilayah Bengalon ) Disebutkan bahwa putri Bengalon meminta " membilang kersik sebokor, membilang karang selanjung, membilang daun rinding yang bergerak ". Aji Batara Agung Batara Nira menyetujui dengan menyebutkan bahwa " mana-mana yang mendengar Petong ini meletop, itulah sumahannya, mana-mana yang tidak mau menurut itu katakan kepada aku, akulah lawannya dan lagi orang Bengalon hingga jenangku sampai di anak cucuku hingga bersahabat saja dengan anak cucuku. Mana-mana yang menjadi raja di negeri Kutai inilah perjanjian Kutai dengan Bengalon sampai hari ini tiada memberi upeti ke Kutai Kartanegara sebab sumuhannya belum habis dibayar. Jika susah Bengalon susah juga Kutai, dan jika susah Kutai susah juga Bengalon sampai sekarang ini.
Dan pada akhirnya Putri Bengalon dijadikan Paduka Ratu dari Kerajaan Kutai Kertanegara. wilayah Bengalon dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang takluk kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Wilayah yang disebutkan sebagai Sumahan itu terletak antara sungai Sangatta (dari muara hingga ke hulu) di sisi selatan dan sungai Kaliorang dari muara hingga hulu, sisi barat adalah pegunungan (dekat degan dua hulu tersebut), serta sisi timur adalah selat Makassar, dapat dibayangkan bahwa wilayah tanah Sumuhan Bengalon itu terdapat di hampir seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur. Tanah di Bengalon secara historis merupakan tanah pusaka dari Kerajaan Kutai Kartanegara. hanya saja Bengalon yang merupakan tanah Sumuhan memiliki keistimewaan, tanah ini tidak membayar upeti kepada kerajaan. wilayah Bengalon terkenal dengan banyaknya hasil komoditas dan hasil bumi, hasil bumi ini juga yang akan dibawa ke Kutai Kartanergara pada waktu Upacara Erau. Bengalon juga mendapat keistimewaan untuk mengadakan Upacara Erau namun lingkupnya agak kecil dan sederhana, kegiatan upacara Erau Bengalon mirip dengan Upacara Erau Kutai Kartanegara.
Dan pada akhirnya Putri Bengalon dijadikan Paduka Ratu dari Kerajaan Kutai Kertanegara. wilayah Bengalon dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang takluk kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Wilayah yang disebutkan sebagai Sumahan itu terletak antara sungai Sangatta (dari muara hingga ke hulu) di sisi selatan dan sungai Kaliorang dari muara hingga hulu, sisi barat adalah pegunungan (dekat degan dua hulu tersebut), serta sisi timur adalah selat Makassar, dapat dibayangkan bahwa wilayah tanah Sumuhan Bengalon itu terdapat di hampir seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur. Tanah di Bengalon secara historis merupakan tanah pusaka dari Kerajaan Kutai Kartanegara. hanya saja Bengalon yang merupakan tanah Sumuhan memiliki keistimewaan, tanah ini tidak membayar upeti kepada kerajaan. wilayah Bengalon terkenal dengan banyaknya hasil komoditas dan hasil bumi, hasil bumi ini juga yang akan dibawa ke Kutai Kartanergara pada waktu Upacara Erau. Bengalon juga mendapat keistimewaan untuk mengadakan Upacara Erau namun lingkupnya agak kecil dan sederhana, kegiatan upacara Erau Bengalon mirip dengan Upacara Erau Kutai Kartanegara.
Rabu, 22 Mei 2013
ASAL USUL NAMA SANGATTA
Dalam sejarah masyarakat Kutai Timur tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sejarah perkembangan Kerajaan Kutai Kartanegara, Berdasarkan tradisi lisan masyarakat, istilah Sangatta pernah disebut dalam cerita Aji Pao, Aji Pao adalah bangsawan Kutai yang berasal dari suku Bugis dan mendapat gelar kehormat "Aji" dari Sultan Kutai. Selain mendapat gelar juga mendapatkan wilayah yang dapat dipergunakan untuk lahan pertanian, perburuan, dan sekaligus tempat permukiman beserta pengikut-pengikutnya.
Menurut legenda, Aji Pao memiliki etos kerja yang tinggi dan pantang menyerah, tokoh yang berwawasan luas dan berkeinginan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang didasari asas kekeluargaan, kebersamaan dan kegotongroyongan,
Menurut cerita rakyat, dalam perjalanan menuju wilayah yang diberikan oleh Raja Kutai, Aji Pao beserta pengawal dan pengikutnya menemukan aliran sungai yang dihuni oleh makhluk halus yang disebut atau digelari SANG. Ditempat tersebut terdapat tiga makhluk halus atau tiga SANG, yaitu SANG ATTAK sebagai penjaga anak sungai api-api, SANG KIMA yang menjaga anak aliran sungai Sangatta yang bercabang menjadi dua, dan SANG ANTAN yang juga menjaga sungai api-api yang sekarang disebut Sungai Santan.
Selasa, 16 April 2013
LOMBA CIPTA KARYA LAGU DAERAH KUTAI TIMUR
LATAR BELAKANG
Lagu-lagu daerah merupakan warisan nilai luhur budaya bangsa yang kini terancam terpinggirkan oleh lagu komersil terutama yang bernuansa cinta. Program acara televisi nasional di Tanah Air juga belum optimal menayangkan program musik bernuansa kedaerahan. Untuk melestarikan lagu-lagu daerah di Nusantara maka digelar sebuah annual event yaitu Lomba Karya Cipta Lagu Daerah Kutai Timur.
Perhelatan Lomba Karya Cipta Lagu Daerah Kutai Timur ini bertujuan untuk menumbuhkan lagu berbahasa daerah khusus Kutai Timur. Lomba ini juga diharapkan dapat membawa lagu-lagu pop daerah yang diaransir secara profesional sehingga enak didengar dan dinikmati.
Perlombaan ini juga memberi kesempatan bagi kalangan remaja yang memiliki bakat untuk unjuk kebolehan di bidang seni suara dan seni musik. Dengan ini pula para musisi dan koreografer daerah untuk berkesempatan menampilkan kreativitasnya di tingkat lokal maupun di tingkat propinsi bahakan ke tingkat nasional.
Lomba Karya Cipta Lagu Daerah Kutai Timur diharapkan ke depan dapat menggema dengan kemasan apik dan profesional termasuk disiarkan di stasiun televisi lokal. Secara tidak langsung pemenang nantinya mendapatkan kesempatan untuk mempromosikan kebudayaan daerah dan pariwisata daerahnya melalui berbagai event yang sesuai.
JUKNIS PESERTA LOMBA CIPTA &
KARYA LAGU DAERAH KUTAI TIMUR
I. Peserta lomba berasal dari unsur perorangan atau kelompok, dengan mengirimkan identitas Peserta sebagai berikut :
- Lembar Biodata disertai 2 buah pas photo berwarna ukuran 4 X 6, dan 1 buah foto copy KTP / Kartu Pengenal
- Lagu yang dikirimkan adalah lLgu ciptaan sendiri ( orisinil ), bukan saduran atau tiruan, dan belum pernah diproduksi atau dipasarkan dalam bentuk kaset, VCD, dsb.
- Tiap peserta berhak mengirimkan lagu ciptaannya maksimal sebanyak 2 buah lagu untuk katagori lagu Kutai dan atau 2 buah lagu Dayak.
II. KRITERIA LAGU & ALAT MUSIK
- Lagu dan lirik bebas namun disesuaikan dengan karakteristik daerah Kutai Timu
- Lagu dan lirik bisa bersifat mendidik, bernuansa promosi pariwisata, keindahan alam, dan nasionalisme
- Lirik dibuat dalam bahasa Dayak atau Kutai, disertai dengan terjemahan
- Lagu bersifat hiburan dengan irama lagu bebas (tradisi, pop, campursari, langgam dan lain lain), tidak menyinggung SARA, tidak terkait dengan partai/politik, tidak berhubungan dengan produk tertentu dan tidak berbau pornografi.
- Alat musik pengiring yang digunakan minimal berupa gitar, dan maksimal 5 orang pemain musik.
- Durasi lagu tidak lebih dari 5 menit
- Peserta menyiapkan penyanyi dan pengiring masing-masing, dan panitia pelaksana tidak menyiapkan pengiring, namun panitia hanya menyiapkan alat musik keyboard
- Syair dan nada lagu asli, belum pernah di arransemen oleh pencipta/musisi lain
- Naskah lagu ditulis dengan tulisan tangan ( tinta hitam ) atau di ketik dengan atau tanpa not balok / not angka.
- Naskah lagu ditanda-tangani di atas meterai Rp. 6.000,- format disiapkan oleh panitia
III. PENGIRIMAN NASKAH LAGU & KASET/ CD
1. Dikirim selambat-lambatnya ( stempel pos ) tanggal ........ 2013.
2. Dikirim dalam satu paket ( amplop ) yang terdiri dari :
- Identitas Peserta
- Naskah lagu sebanyak 2 rangkap,yaitu 1 lembar Naskah asli dan 2 lembar foto copy.
- Kaset rekaman lagu, yaitu 2 buah kaset lagu/CD kategori lagu Dayak dan atau 2 buah kaset lagu/CD katagori Kutai ( bila ada ).
3. Pada sudut kiri amplop ditulis : “Lomba Cipta Lagu Daerah Kutai Timur”.
VI. HAK PEMENANG LOMBA & HAK PANITIA LOMBA
- Pemenang lomba berhak memperoleh hadiah sebagai berikut :
- Hadiah uang dengan jumlah total sebesar Rp.................. -
- Piagam dan Piala tetap untuk Juara I-II-III dan Juara Harapan I-II.
- Menerima dua buah kaset/VCD 10 lagu terbaik.
- Penyerahan Hadiah akan dilakukan pada saat launching Kaset / VCD lagu terbaik waktu dan tempatnya akan ditentukan kemudian
2. Panitia Lomba berhak mengambil langkah keijaksanaan sebagai berikut :
- Mengajukan perbaikan judul lagu dan penyesuaian lirik dengan sepengetahuan pencipta
- Menentukan musisi/arranger untuk melaksanakan produksi kaset sampai selesai
- Merekrut Dewan Juri sebagai Tim Penilai dengan ketentuan bahwa Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat
- Menentukan penyanyi dan penata musik untuk membawakan 10 lagu terbaik.
- Mengalihkan Hak Edar 10 lagu terbaik menjadi milik Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kutai Timur dan Hak Cipta tetap melekat pada pencipta lagu
Langganan:
Postingan (Atom)