Minggu, 03 November 2013

ALBUM FOTO










ALBUM VIDEO











                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
                             




















SANGATTA DI MASA LAMPAU

Telah kita ketahui bahwa Kota Sengata adalah ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai Timur yang merupakan salah satu dari daerah pemekaran dari kabupaten Kutai tahun 1999.
Orang-orang Sengata awalnya berasal dari orang-orang pantun yang bertempat tinggal di Hulu sungai Sengata yaitu di Sengata Kepet atau Selayar.
Untuk mengetahui tempat itu ada suatu tanda yang pernah didiami oleh orang Sengata dahulu yaitu berupa sebuah tangga behek namanya yang sampai sekarang ini masih bisa kita lihat, yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang Kepala Adat yang namanya Gembara yang diangkat sebagai Kepala Adat pada tahun 1678 dan pada tahun 1709 Kepala Adat Gembara diganti oleh Kepala Adat yang baru yang bernama Djanti.
Sewaktu Kepala Adat Gembara diganti oleh Kepala Adat Djanti, dimana saat itu Djanti menguasai benua Sangatta Kepet yang orang-orangnya masih menganut agama yang menyembah patung atau masih percaya dengan orang-orang desa yang mempunyai kesaktian.
Waktu itu bilamana ada orang yang mati atau meninggal dunia diwaktu siang hari, ia dapat dihidupkan kembali dan bilamana pada malam hari tidak dapat dihidupkan lagi, karena sudah ada perjanjian denga roh-roh sakti dikayangan, Kepala Adat Gembara dan Djanti waktu itu masih dekat orang-orang kayangan sakti.
Dengan demikian pada waktu itu terjadi suatu percobaan dari Yang Maha Kuasa, dimana anak dari kepala adat Djanti mati / meninggal dunia dimalam hari maka dengan terpaksa karena Djanti sayang dengan anaknya dan lagipula anak itu perempuan maka Djanti berusaha untuk menghidupkannya dan ternyata berhasil, dengan demikian kepala adat gembara dan Djanti telah melanggar sumpah dan perjanjian dengan orang-orang dewa sakti di kayangan. Padahal sewaktu kepala adat Gembara dan Djanti yang masih menguasai benua sengata kepet atau benua selayar mereka masih taat atau bertuhan kepada dewa – dewa. Maka dengan terjadinya pelanggaran sumpah dan janji tersebut,hilanglah kekuasaanya. . Dengan demikian maka diserahkanlah tahtanya kepada Singa Tua, untuk menjadi Kepala Adat selanjutnya dibenua Sengata Kepet / benua selayar.
Wilayah Kekuasaan Kepala Adat Singa Tua adalah dari benua Sengata Kepet sampai dengan Tunggur Butuh, dimana letak tunggur butuh adalah disebelah kiri mudik sungai sengata .
Tunggur butuh tersebut dibuat dari kayu ulin untuk menjadi perbatasan dari sangatta kepet, dan letaknya dikiri mudik sungai sangatta.
Pada tahun 1721 terjadi pergantian kepala adat karena sakit dan digantikan oleh kepala adat Singa Tua dan sengata kepet ditinggalkan. Dan dibuat suatu kesepakatan dimana kepala adat membuat suatu tanda sebagai untuk disembah kepada dewa setiap waktu, dimana tunggur butuh tersebut terdiri dari kayu ulin yang tingginya kurang lebih 5 meter dan lebarnya kurang lebih 60 cm, didalam ulin tersebut ada sebuah guci besar dengan berukir seekor naga bersulai, dan tunggur tersebut mempunyai ukiran binatang-binatang yang ada didunia ini.
Tunggur Butuh ini terletak disebelah kiri mudik sungai sengata, yang menandakan tempat asal benua sangatta yang sangat ramai, sesudah benua sengata kepet ditinggalkan oleh kepala adat yang dulu, sehingga perpindahan ini masih dipimpin oleh kepala adat Singa Tua .
Kepala Adat Singa Tua mempunyai anak masing-masing :
1.Singa Geweh : Dan menikah mempunyai anak laki-laki yang bernama TALI
2.Nung Bakung : Anak Singa Tua yang perempuan ini tidak bisa berkelanjutan karena sewaktu berlayar dan sampai dimuara sangatta lalu menghilang / gaib dan sampai sekarang tanda tempat menghilang tersebut masih ada dimuara sungai sengata.
3. Singa Muda : Anak laki-laki mempunyai anak 5 orang yaitu : KARTI, SENGKAR,SINAM, KACUP, dan KATIN
Setelah 16 tahun Singa Tua menjadi kepala Adat maka pada tahun 1737 terjadilah pergantian Kepala Adat yang baru yaitu anaknya sendiri yang bernama Singa Geweh. Kepala adat Singa Geweh ini mengatur masyarakatnya dengan aman dan tentram dan lama kelamaan benua tersebut ditinggalkan karena ada terjadinya peperangan dengan orang-orang Dayak dari Hulu Mahakam, dan tidak dapat ditahankan oleh karena kurang peralatan dan akhirnya kepala Adat Singa Geweh mengajak masyarakatnya untuk pindah kesuatu tempat yaitu di Benua Muda.
Sesudah berpuluh tahun di Benua Muda tersebut, ada suatu percobaan dari Yang Maha Kuasa yaitu terjadinya kemarau panjang, dimana sungai Sengata sampai tidak ada lagi airnya, yang ada hanya airnya dicelah-celah yang agak rendah tanahnya.
Dalam hal ini masyarakat di ajak untuk pindah lagi oleh kepala adatnya yaitu menuju suatu benua yang ada airnya yaitu di Benua Belahu Geruci, sehingga masyarakat mudik menuju tempat tersebut dan berkumpullah masyarakat di Benua Belahu Geruci, dimana masyarakat pada waktu cukup berkembang dan bertambahnya penduduk, walaupun air tidak mencukupi, yang akhirnya oleh kepala adatt terpikir untuk membagikan air yang cukup sulit itu kepada masyarakatnya, yang diambil masing-masing ditempat :
1. Di Belahu Geruci yang dinamakan Teluk Besar.
2. Peler Sayus yang merupakan suatu rantau.
3. Batu Wa’Ali yang merupakan tanda tempat duduk.
4. Tangga Adji yang merupakan tempat naik raja.
Daerah - daerah inilah yang termasuk dari kekuasaan Kepala Adat Singa Geweh.
Keterangan : Peler Sayus : adalah sebuah benda yang terdiri dari sebuah batu yang berbekas seperti (maaf) peler ini terjadi sewaktu sayus sedang duduk memncing ikan
Batu Wa’ Ali : adalah tanda suatu perlawanan yang hebat dari orang-orang dayak yang banyaknya kurang lebih 400 orang, dan perlawanan sengit terjadi yang dipimpin oleh Wa’ Ali dan terjadi pertumpahan darah, dimana banyaknya orang – orang meninggal sehingga darahnya mengalir ketepi sungai mengenai batu-batu tersebut , sehingga sampai sekarang batu-batu didaerah itu agak kemerah merahan.
Tangga Adji : Adalah suatu tempat yang digunakan oleh Keluarga Raja Kutai dari Tenggarong, untuk naik dan turun menuju Sungai Bengalon, suatu sungai tempat peristirahatan para keluarga Kutai (asal kata Bungalow), dimana diatas tangga –tangga tersebut bertuliskan dengan bahasa orang Bajau Tidung yang berkata sebuah pantun : “ Batu Adji ilas berukir, ukiran anak si Raja Tidung.
Sesudah beberapa lamanya bertempat tinggal ditempat itu yaitu di Belahu Geruci, kebatu wa’Ali sampai ke Benua asal sewaktu musim bertemu dengan orang-orang Cina Lama yang banyak membawa berupa Guci, piring, mangkok, sendok dll dan perkembangan di Benua Muda terus bertambah penduduknya dan datanglah suatu percobaan dari Yang Maha Kausa yaitu terjadi banjir desar yang melanda Kampung tersebut dan oleh Kepala Adat diperintahkan kepada penduduk untuk mencari suatu tempat yang lebih tinggi, selama banjir tersebut rumah penduduk berhancuran dan selain itu datang pula serangan dari orang dayak namun serangan itu gagal dan banyak orang-orang Dayak tersebut mati terdampar disuatu tempat yang dinamakan Rapak Malindun ( sekarang masih ada ), untuk mencari tempat yang tinggi dan aman maka mereka segera pergi kehilir dan berlabuh di keham keham yang cukup tinggi dan untuk menyelamatkan diri dari serangan banjir dan penyerangan orang Dayak, maka banyak keham-keham yang disinggahi antara lain :
  1. Keham Segelap : adalah dimana dikeham tersebut cahaya matahari tidak tampak dan sangat gelap.
  2. Keham Batu Apat : adalah suatu keham tempat persembunyian orang-orang dan bahasa Sengata menyebutkan bahwa orang Dayak tidak dapat melakukan serangan.
  3. Keham Batu Buam : adalah suatu tempat dimana orang Dayak tidak bisa mengepung dan buntu serangan.
4. Keham Sambut Tangan : adalah suatu keham yang untuk menuju tempat tersebut harus bergantian dan saling sambut tangan.
5. Keham Batu Rumah : adalah suatu keham yang besar seperti rumah dan tempat perlindungan orang-orang dalam pelarian.
6. Keham Batu Rumah : adalah keham tempat orang-orang bersukat kemaluan yang panjang artinya siapa kemaluannya yang panjang berarti dia berani melawan orang-orang Dayak.
7. Keham Deras Kelawit : adalah keham besar dan airnya cukup deras dan kuat.
8. Keham Segimbal : adalah keham ditepi sebuah kampung dan ada sebuah batu seperti kambing / gimbal dan sewaktu Erau terjadi batu tersebut di sambar petir.
9. Aor Wa’ Alok : adalah bekas kampung yang saat ini masih ada suatu peninggalan utamanya tempat masyarakat menyembah berhala / patung.
Pada tahun 1751 terjadilah pergantian Kepala Adat Singa Geweh kepada Saudaranya Singa Muda, dimana Singa Muda ini berpuluh-puluh tahun mengatur rakyatnya dangan baik , kemudian Kampung dipindahkan lagi kesuatu tempat yang dianggap lebih baik lagi yaitu di Benua Bendili, setelah beberapa tahun menempati Benua Bendili, Kepala Adat diganti lagi karena sesuatu hal yang dianggap oleh rakyatnya tidak memuaskan dan terjadilah pergantian pada tahun 1781 dengan Kepala Adat Macan ( yang dianggap terkuat di kampung tersebut).
Beberapa tahun mendiami Benua Bendili, maka terjadilah perpindahan lagi dan menempati suatu tempat yang diberi nama Benua Melawan yang berada dikiri mudik sungai sengata.
Waktu Benua Melawan dipimpin oleh Kepala Adat Macan disinilah tugas Kepala Adat bertahan dari serangan orang-orang suku Dayak dan mengadakan perlawanan yang dahsyat beserta rakyatnya, dengan semboyan oleh Kepala Adatnya sampai tumpah darah yang penghabisan kami tetap melawan , akhirnya berkat kekuatan dan kekompakan dengan rakyatnya, maka ,Kepala Adat Macan berhasil mempertahankan Benua Melawan dari serangan orang-orang Dayak sehingga sampai saat ini tertinggal sebuah nama sungai melawan, dan mayat-mayat dari orang Dayak banyak yang terdampar di sebuah sungai kecil yaitu sungai Loah Empang (dalam bahasa daerah sengata artinya terdampar/terpampang), dengan kemenangan tersebut dimana Kepala Adat Macan memang sudah lama memangku Kepala Adat dan pada tahun 1801 Kepala Adat Macan meninggal dunia dan diganti oleh Kepala Adat yang baru yaitu KARTI, saat itu Karti adalah sebagai orang kedua (wakil) dari Kepala Adat Macan .
Dengan terjadinya pergantian Kepala Adat Macan yang meninggal dunia, dimana beberapa tahun Kepala Adat Karti memimpin rakyatnya , pengaruh dari Kepala Adat yang lama yaitu Macan masih ada , sebab kebanyakan rakyatnya yang bertempat tinggal di melawan masih sayang dengan Kepala Adat macan, karena keberaniannya dan akhirnya kampung terbagi dalam 3 ( tiga ) yaitu keluarga Macan memimpin diseberang kiri sungai melawan, dan sungai Loah Empang seberang kiri mudik juga dibawah keluarga macan, sedangkan dikampung Benua Kepung dan Sidung dikepalai oleh Kepala Adat Karti.
Sungai Sidung yang terletak di sebelah kiri sungai Sengata, sewaktu wakil Kepala Adat Karti berkampung di Benua Kepung dan Sidung, setelah beberapa lama datanglah serangan orang-orang Bajak Laut Bajau Tidung, dan orang kampung bersembunyi di sungai Murung yang terletak disebelah kanan sungai Sengata dan rakyat terkurung disana, sebab benua kepung dan Sidung sudah diduduki oleh Bajak Laut atau Bajau Tidung dan Kepala Adat Macan turun tangan disebabkan rakyatnya terkurung tidak bisa keluar, Kepala Adat turun tangan dengan rakyatnya mengepung orang Bajau Tidung, karena disitulah orang Bajau Tidung terkepung oleh serangan dari Kepala Adat Macan.
Untuk memusnahkan orang Bajau Tidung tersebut Kepala Adat meminta bantuan kepada Kepala Adat yang lama yaitu Gembara yang pada waktu itu umur Gembara sudah lebih 100 tahun, tetapi masih mempunyai tenaga yang kuat dan sakti maka oleh Gembara meminta kepada Dewa Sakti, sehingga semua orang Bajau Tidung tertidur dan bekas Kepala Adat Gembara lalu mengiris semua hidung orang-orang Bajau Tidung tersebut, sehingga tempat tersebut terjadilah sebuah danau yang sampai saat ini masih ada yaitu Danau Sidung.
Setelah orang Bajau Tidung sudah tidak ada lagi, maka diaturlah benua tersebut dengan sebaik-baiknya oleh Kepala Adat Karti dan masyarakatnya berhanyut lagi kehilir untuk menuju Benua yang baru lagi yaitu Benua Buntu Bandir dan Behulu Gung, dua benua tersebut diatur sedemikian rupa oleh Kepala Adatnya, dan oleh Kepala adat diadakan suatu sayembara atau perlombaan kampung dan diundang seluruh masyarakat yang ada disekitar kampung Sengata, seluruh bekas Kepala Adat yang masih hidup diundang semua untuk berlomba menyeberang sungai Belahu Gong dengan membawa sebuah gong dengan memegang benjolan gong tersebut, siapa yang menang akan mendapatkan sebuah Guci besar yang berukir naga bersulai, dimana warna guci tsb kekuningan dengan tinggi 160 cm dan guci tsb terdiri dari 2 buah ( laki dan bini ) guci tersebut berasal dari bekas kepala Adat Gembara, oleh karena Gembara kalah dalam perlombaan, terpaksa guci tsb diambil alih oleh Kepala Adat Karti.
Akan tetapi oleh Karti diambil kebijaksanaan guci yang dua buah itu dibagi oleh Karti dengan pembagian yang satu untuk usbah yang laki dan yang satu untuk usbah yang perempuan.

Berhubungan bekas Kepala Adat Gembara malu maka secara sembunyi guci yang untuk usbah perempuan dibawanya lari sampai keutara Sengata yaitu kesebuah kampung di Kecamatan Sangkulirang yaitu Kampung Manubar, sampai saat ini guci yang untuk usbah laki-laki berada di Sangatta dan guci yang untuk usbah perampuan ada di Manubar.( sekarang kec. Sandaran)
Guci untuk usbah laki – laki sampai kini masih berada dirumah Ibu gomariah/Embung binti Amir ( Jl. Diponegoro Sengata utara).
Setelah terjadi perlombaan belahu gung, rakyat yang berdiam di kampung Benua Kepung menghilir lagi dan pindah kesebuah kampung yaitu buntu Bandir yang artinya suatu tempat yang orang kampung terdahulu banyak yang mati hampir setiap jam sehingga mayat-mayat tersebut terlambat untuk dikuburkan dan banyak yang busuk ( Bahasa Sengata Buntuk/Bontok ), kematian ini diakibatkan oleh suatu penyakit yang dinamakan penyakit dingin ( mayat bertambah hingga tertimbun ) dan disimpan di bawah pohon besar ( bahasa daerah disimpan dibanernya ).
Lama kelamaan masyarakat banyak berkurang karena banyak yang terkena penyakit dingin dan akhirnya Kepala Adat Karti diganti dengan Kepala Adat yang baru yaitu TALI ini terjadi pada tahun 1830, sejak dipimpin oleh Kepala Adat Tali inilah segala hasil kampung disetorkan / memasukkan uang belasteng ( pajak uang Kepala ) dan uang ini disetorkan ke kerajaan Kutai di Tenggarong. Dengan berkembangnya sengata pada waktu itu maka pada tahun 1830 suatu Perusahaan Minyak Asing Mulai masuk ke sangatta yaitu Perusahaan NKPM bergerak dibidang perminyakan dan yang pertama beroperasi dalam pengeboran yaitu di sungai Melawan, sedangkan sisa-sisa peralatan NKPM yang berupa pipa masih ada di sungai Melawan Sengata.
Penghasilan rakyat pada waktu itu adalah Rotan, Damar, sarang burung dan sirap.
Pada tahun itu Kepala Adat Tali menunaikan ibadah haji dan Kepala Adat di wakili oleh Kepala Adat Bungul, tetapi sampai beberapa tahun Kepala Adat Tali di tunggu kedatangannya juga tidak ada berita, tetapi setelah beberapa tahun beberapa tahun kemudian ada berita bahwa Kepala Adat TALI telah meninggal dunia di Mekkah ( dalam menunaikan ibadah haji ), setelah mendengar hal tersebut maka terjadi pergantian Kepala Adat dimana Wakil Kepala Adat BUNGUL diangkat menjadi Kepala Adat.
Pergantian ini terjadi pada tahun 1842, dengan dipimpin Kepala Adat Bungul, hasil hutan sudah mulai meningkat dan pada waktu itu oleh Sultan Kutai telah menugaskan RADEN BENDAHARA untuk membeli dan memungut cukai hasil hutan.
Tetapi rupanya oleh rakyat di Sengata hasil hutan tersebut dijual secara langsung kepada para pembeli yang masuk ke Sengata, maka Raden Bendahara marah karena setiap ke Sengata untuk mengambil hasil hutan dan cukai selalu hasil hutan itu sudah tidak ada lagi dikarenakan di jual oleh masyarakat ke pedagang lain, akhirnya Raden Bendahara mengeluarkan suatu sumpah kepada orang lain yang berusaha mencari hasil hutan yang katanya : BILAMANA SAYA MEMANG TUTUS RAJA, ATAU KETURUNAN RAJA KUTAI, MAKA 7 (TUJUH) TURUN ORANG-ORANG YANG ADA DI SENGATA TIDAK MENDAPATKAN SELAMAT DAN HASIL HUTAN MUSNAH SELAMA ITU.
Dengan sumpah itu rupanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa sehingga terjadi suatu musibah kemarau panjang selama 1 (satu) tahun penuh, sehingga semua hasil hutan yang ada di Sengata habis musnah terbakar, dan sampai saat ini sebiji rotanpun tidak ada lagi di Sengata, akibat sumpah dari Raden Bendahara dari Kerajaan Kutai Tenggarong (karena menurut hitungan sampai saat ini baru terjadi 6 (lima) turunan dan masih ada 1 (satu) turunan lagi.
Dan pada tahun 1855 terjadi pergantian Kepala Adat yang baru di pimpin oleh Kepala Adat SAMPAI, dimana Kepala Adat Sampai memimpin dengan baik rakyatnya sehingga usaha yang tidak mungkin ada pada waktu itu diusahakan, karena kita ketahui bahwa dengan adanya sumpah Raden Bendahara tadi, maka rakyat Sengata sudah mulai kehilangan mata pencaharian, dan diusahakan oleh Kepala Adat Sampai supaya ada usaha yang baik, yaitu mencari usaha lain antara lain bertani, mencari ikan dll.
Pada tahun 1901 Kepala Adat Sampai diganti sekaligus pada waktu terjadi pergantian sebutan dari Kepala Adat menjadi Petinggi, yang menjabat pertama menjadi petinggi adalah BIJAK dan pada waktu itu Imam sudah ada, dan dijabat oleh Imam Saong, wakil imam bernama Sendawar. Pada waktu petinggi Bijak memimpin masuk lagi Perusahaan Perminyakan yang bernama Kolnia pada tahun 1903, dan pengeboran dimulai disekitar ST. 1 yang sekarang ini. Belum sampai 2 tahun berjalan Perusahaan tersebut tutup kembali, dimana ini terjadi pada waktu perang dengan sekutu sehingga usaha perminyakan di Sengata sepi kembali.
Pada tahun 1930 telah masuk kembali Perusahaan perminyakan B.P.M ( Batafsche Petrelium Maschapey ) di Sengata dan banyak masyarakat Sengata yang dapat ditampung bekerja di B.P.M. tersebut dan telah melakukan pengeboran di daerah Sengata dan sekitarnya yaitu ST.1,2,3,4,5 dan 6, terakhir pada tahun 1945 waktu terjadi peristiwa Merah Putih dimana Sengata pada waktu itu telah dimasuki tentara Belanda kurang kebih 10 orang dan beberapa orang dari suku Timor dan keamanan dari pihak Indonesia kurang lebih 12 orang yang dipimpin oleh Arip ( orang berasal dari Kalsel ).
Pada tahun 1955 perusahaan perminyakan B.P.M tutup kembali dan pindah ke sanga-sanga, dan keadaan Sengata kembali sepi, dan pekerja rakyat hanya menebang kayu, membuat sirap dan adanya kehutanan / perhutani, sehingga pada waktu itu pencaharian rakyat Sengata bisa tertampung.
Pada tahun 1967 Kepala Kampung sengata dijabat oleh ABDUL RIFAI GANI, keadaan Sengata mulai ramai karena dengan masuk kembali perusahaan perminyakan pertamina, sebelum ini orang-orang kampung masih tinggal di Sengata I, ialah sengata ilir sekarang ini dan sesudah itu pindah lagi ke kampung Sengata II atau Masabang sekarang ini.
Dengan dibukanya perminyakan di Sengata, maka mulailah penduduk Sengata bertambah banyak, karena dengan datangnya orang dari luar daerah Sengata, karena bekerja di Sub Kontraktor Pertamina.
Pada tahun 1977 penduduk Sengata cukup padat yang pada waktu itu tercatat sebanyak 7.200 jiwa, dengan demikian keadaan cukup rawan karena sering terjadi beberapa perkelahian dan lain-lain.
Pada tahun 1972 pada saat Kepala Kampung dijabat M. PITAL B maka mulai saat itulah terjadi pergantian Kepala Kampung selama 5 tahun sekali dan berakhir pada tahun 1977, dan waktu itu diadakan pemilihan Kepala Kampung, tetapi berhubung sesuatu dan lain hal pemilihan terpaksa dibatalkan dan ditunjuk Wakil Kepala Kampung pada waktu itu sdra. ABDUL HAMID K sebagai Kepala Kampung, dengan Imam P.3.NTR di Sengata adalah sdra, ISMAIL M yang dijabatnya sejak tahun 1976..

Jumat, 04 Oktober 2013

PETUNJUK TEKNIS PARADE BUDAYA
HARI ULANG TAHUN 
KABUPATEN KUTAI TIMUR KE-14


Latar Belakang
Dinamika masyarakat yang ada di kabupaten Kutai Timur telah mengalami pembangunan yang sangat pesat, hal ini ditandai dengan majunya tingkat perekonomian masyarakat, pembangunan infrastruktur di segala sektor, serta kemajemukan suku yang ada di kabupaten ini. Sehubungan dengan kemajemukan suku ini diharapkan dapat menjadi pemersatu bangsa dalam mewujudkan cita-cita untuk kesejahteraan dan ketentraman masyarakat yang ada di Kabupaten Kutai Timur.   
    Seiring dengan dinamika masyarakat tersebut, maka dalam rangka memeriahkan HUT Kutai Timur ke-14, pada salah satu rangkaian acaranya adalah Pawai atau Parade Budaya dimana setiap kontingen akan mengaktualisasikan potensi budaya yang dimiliki sehingga dapat memacu kreatifitas pelaku-pelaku budaya dalam melestarikan kearifan budaya lokal. 

Ketentuan Parade Budaya

  • Pertemuan teknis (technical meeting) akan dilaksanakan pada tanggal 8 Oktober 2013 Jam 10.00 bertempat di kantor Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kutai Timur Jl.Soekarno Hatta Kawasan Perkantoran Bukit Pelangi.
  • Pelaksanaan Gladi Bersih Tgl 10 Oktober, bertempat di Jl.APT.Pranoto s/d Depan Hotel Golden.
  • Jumlah peserta pawai  maksimal 40 orang perkontingen.
  • Materi parade diharapkan tidak bertentangan dengan SARA.
  • Peserta berhak untuk membawa alat musik sebagai pengiring atraksi pawai baik dalam bentuk CD ataupun instrumen musik lainnya ( termasuk sound system ).
  • Kostum yang digunakan menggambarkan pakaian adat daerah masing-masing dengan mengutamakan asas etika kesopanan.
  • Sinopsis disampaikan pada wsaktu Gladi Bersih sebanyak 3 rangkap.
  • Peserta tidak diperkenankan menampilkan foto tokoh atau seseorang.
  • Pengambilan nomor urut peserta dilaksanakan pada saat technical meeting.
  • Hal-hal yang belum jelas dalam petunjuk teknis ini akan disampaikan dalam technical meeting atau dapat ditanyakan langsung ke panitia bagian lomba parade / pawai budaya.


Rencana Susunan / Defile

  • Pembawa bendera.
  • Pembawa papan nama kontingen peserta.
  • Pembawa spanduk tema kontingen peserta ( jika ada ).
  • Peserta pawai, lengkap dengan property.
  • Pemain musik / sound system. 


Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Parade dan pergelaran budaya akan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2013 mulai pukul 14.00 Wita sampai dengan selesai dan bertempat atau start di halaman Kantor Kecamatan Sangatta Utara dan finish di halaman Kantor Kecamatan Sangatta Utara.


Penilaian
Penilaian akan dilakukan oleh tim juri yang ditunjuk dan ditetapkan oleh panitia, dan penilaian dilakukan pada saat atraksi selama maksimal 3 menit di  tempat yang telah ditentukan.


Kriteria Penilaian :

  • Konsep bertemakan daerah setempat
  • Daya tarik
  • Keunikan / Inovasi
  • Harmonisasi dan kekompakan


Penghargaan
Panitia akan memberikan penghargaan untuk 5 kategori.

Sekretariat Panitia Pendaftaran Pawai Budaya HUT Kutim 2013.
Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kutai Timur Jl.Soekarno Hatta, Kawasan Perkantoran Bukit Pelangi.

Contact Person Pawai Budaya
      Bapak Drs. Budi Amuranto          
      Ibu Orva septi Yusuf                    
      Makmur Deapati, S. Sn               
      Andi Budiman                              

Senin, 02 September 2013

SEJARAH DAYAK WAHAU

Kecamatan Muara Wahau adalah bagian dari wilayah Kabupaten Kutai Timur dengan luas wilayah 5724.32 km2. Keseluruhan wilayah Muara Wahau yang cukup luas ini mencakup hutan dan dan dibelah oleh sungai, curah hujan yang terbanyak terjadi di bulan November yaitu sekitar 460 mm, dan curah hujan terendah sekitar bulan Februari yaitu 53 mm, dataran rendah dan dataran tinggi terdapat di sekitar sungai besar dan agak ke hulu dengan bentuk bergelombang, sedang di pedalaman sudah bergunung-gunung. Wilayahnya masih mengandalkan alam sekitar, yaitu sisi utara hingga pegunungan Meratus, sisi barat hingga sungai Muara Ancalong, sisi selatan hingga jeram sungai Bengalon dan sisi timur hingga sungai Telen
Ada banyak suku lokal yang mendiami di daerah Kutai Timur, dan salah satu diantaranya adalah Suku Dayak Wahau atau Dayak Wehea. Suku Dayak Wehea mayoritas bermukim di Kecamatan Muara Wahau, suku Dayak Wehea menurut cerita juga pernah menjadi bagian dari kerajaan Kutai Katanegara, ketika kerajaan tersebut dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda, para suku adat di Kalimantan Timur termasuk ketua suku Wehea, mendapat gelar dari kerajaan Kutai Kartanegara. Ketua adat ( raja ) suku Wehea mendapat gelar " Raja Alam ". Setelah itu pengganti Raja Alam mendapat gelar Raden Prana, setelah itu penggantinya mendapat gelar Mas Muda.
Seperti halnya dengan tradisi wilayah yang lain, suku Wehea juga membayar Bayah (upeti) ke kerajaan Kutai Kartanegara, bentuk upeti yang disetorkan bukan berupa uang akan tetapi berbentuk barang, rombongan yang akan membayar bayah tersebut mengarungi sungai dengan menggunakan perahu, dan kadang membutuhkan dua minggu untuk mencapai ke kerajaan Kutai Kartanegara, sedangkan pulangnya justru akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi karena mereka harus mementang arus sungai.
Setiap ada pesta Erau yang dilaksanakan oleh kerajaan orang-orang Wehea datang ke pesta Erau tersebut karena diundang oleh Raja, mereka biasanya menari di acara tersebut
Pada dasarnya suku Wehea merupakan kelompok masyarakat Dayak yang tertua yang ada di Kutai Timur

Kamis, 01 Agustus 2013

LEGENDA GUNUNG BATU TONDOYAN


Ada lima bersaudara tinggal di hulu sungai Bengalon, yang tertua laki-laki bernama Ayus berperawakan tinggi besar dan mempunyai kesaktian, dia mempunyai adik laki-laki yang bernama Sentang, Songo dan Setu, serta adk perempuan bernama Silu yang mempunyai kemampuan atau kesaktian dalam hal masak-memasak.

Rabu, 24 Juli 2013

DAFTAR REFERENSI DAN SUMBER ACUAN

www.kriyalea.com, kain tenun ulap doyo

www.kutaikartanegara.com

www.kutaikartanegara.go.id

www.wikipedia.org

Senin, 08 Juli 2013

UPACARA TRADISIONAL

ASAL USUL ERAU


OLAHRAGA TRADISIONAL

MENYUMPIT

Banyak masyarakat adat memiliki sumpit misalnya di suku Dayak Indonesia dan suku suku pribumi di Amerika Selatan . Sumpit biasanya berbentuk tabung yang memungkinkan panah kecil yang ditembak melesat ke sasaran. Di Jepang, Sumpit disebut fukiya digunakan samurai digunakan sebagai senjata untuk mematikan musuh yang anak sumpitnya diracuni dengan racun dari ikan buntal.
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
Sumpit tradisional terdiri tabung bambu atau kayu yang panjangnya 1-3 m , Sumpit dilengkapi dengan anak sumpit dengan bentuk bulat kira-kira diameternya kurang dari 1 cm. Anak sumpit (damek) dapat terbuat dari bambu yang salah satu ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu yang massanya ringan (dari kayu pelawi). Ini berfungsi supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus atau sebagai penyeimbang saat lepas dari buluh. Sedangkan ujung yang lain runcing dan biasanya diberi racun yang sangat mematikan binatang buruan. Racun terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan hutan dan sampai saat ini masih belum ada penawar racunnya. Sumpit digunakan dengan cara ditiup. Kuat tidaknya napas penyumpit akan menentukan sejauh mana jarak anak sumpit dapat melesat ke sasarannya

Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dan pada bagian inilah anak sumpit dimasukkan lalu ditiup. Antara Buluh sumpit dan anak sumpit memiliki ketergantungan yang tinggi (saling mendukung). Walaupun buluhnya bagus tetapi anak sumpit dibuat sembarangan maka hasilnya juga kurang memuaskan serta sebaliknya. Artinya kedua saling beperan penting dalam ketepatan mengenai sasaran/mangsa walaupun juga napas penyumpit serta kemahiran juga sangat berperan penting disini.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya, Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang disebut damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dan sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran. Racun damek oleh etnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking
 Sumpit Sebagai Olahraga


Fungsi sumpit bukan lagi untuk berburu atau untuk berperang melainkan diperlombakan pada olahraga-olahraga daerah. Menjadi nomor olahraga yang diperhitungkan pada setiap pertandingan yang selenggarakan di daerah. Olahraga sumpit tidak jauh berbeda dengan olahraga yang lainnya seperti olahraga tembak atau olahraga panah. Biasanya untuk sasarannya dibuat lingkaran dari karton atau kertas. Peserta lomba berlomba-lomba untuk mengenai lingkaran yang telah dibuat dengan jarak yang telah ditentukan oleh panitia lomba. Di Jepang olahraga sumpit dibina oleh International Fukiyado Association (IFA) .

Cara Pembuatan Sumpit



Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ketrampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta. Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.



 LOGO




GASING

OLAHRAGA TRADISIONAL

TRADISI SASTRA LISAN : TARSUL

TARSUL


Seni bertutur atau berceritera merupakan bagian dari seni vokal, dalam bertutur tersebut kisah yang sering ceriterakan biasanya adalah cerita rakyat, cerita kepahlawanan, cerita sejarah, cerita pendidikan moral dan etika. Ceritera bertutur hampir dijumpai di seluruh nusantara seperti Macapatan di Jogja dan Jawa Tengah, Ma'sinrili pada suku Makassar, Kecaping pada suku Bugis, dan Tarsul pada suku Kutai di Kalimantan Timur. 
Tarsul merupakan kesenian yang msih sangat digemari oleh masyarakat suku Kutai, dan sampai saat ini regenerasi dan eksistensi kesenian Tarsul masih tetap berlanjut. Kesenian Tarsul boleh dimainkan baik anak-anak, dewasa maupun orang tua, laki-laki maupun perempuan. Tarsul yang ada pada masyarakat suku Kutai umumnya diiringi dengan alunan musik tingkilan atau gambus, terkadang pula tanpa diiringi oleh musik jadi hanya mengandalkan vokal penyaji tarsul. 
Format tarsul .......   






BEMAMAI




NGAPEH





BADENDANG

TRADISI SASTRA LISAN

Selasa, 04 Juni 2013

SEJARAH SINGA GEWEH, SINGA KARTI DAN SINGA GEMBARA

Keberadaan Sangatta sebagai bagian dari Kabupaten Kutai Kartenegara tidak terasa lagi. Sejak tahun 1999 wilayah yang dahulu merupakan wilayah Bengalon termasuk penguasa wilayah sungai Sangatta sudah menjadi wilayah Kabupaten Kutai Timur, Namun demikian, kekuatan sebagai bagian dari Kerajaan Kutai Kartanegara masih juga diingat dan menjadi kekuatan jiwa masyarakatnya. Seperti nama Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara masih sangat melekat pada masyarakat lokal Sangatta.
Singa Geweh, Singa Karti dan Singa Gembara adalah orang kepercayaan Sultan Kutai Kartanegara. Mereka ini mengorbankan dirinya menjadi makhluk gaib berwujud singa, Raja Kutai memberikan mereka mandat kepada "makhluk gaib " ini untuk selamanya menjaga hutan di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara. Bagi orang-orang yang akan ke hutan sebelumnya harus membaca mantera khusus, dengan membaca mantera tersebut maka "  SANG SINGA " tersebut tahu bahwa yang masuk ke hutan tersebut adalah masih keturunan raja dan tidak akan mengganggunya.
Seperti dijelaskan diawal SEJARAH BENGALON, wilayah Bengalon merupakan wilayah khusus bagi Kerajaan Kutai Kartanegara, wilayahnya mencakup daerah antara sungai Sangatta di bagian Selatan dan sungai Kaliorang di sisi utara. Wilayah sungai Sangatta menjadi "wilayah lain" dan dikelola oleh Ketua Adat yang ditunjuk  oleh Sultan Kutai Kartanegara. Berdasarkan sejarah,  tercatat nana-nama Kepala Adat di wilayah Sangatta, antara lain :
1. Gembara ( 1678 - 1709 )
2. Djanti ( 1709 - 1721 )
3. Singa Tua ( 1721 - 1737 )
4. Singa Geweh ( 1737 - 1`751 )
5. Singa Muda ( 1751 - 1781 )
6. Macan ( 1781 - 1801 )
7. Karti ( 1801 - 1830 )
8. Tali ( 1830 - 1842 )
9. Bungul ( 1842 - 1855 )
10. Sampai ( 1855 - 1901 )

SEJARAH BENGALON

Secara khusus disebutkan bahwa wilayah Bengalon yang sekarang merupakan wilayah administrasi Kutai Timur, namun pada waktu jaman Kerajaan Kutai Kartanegara, Bengalon merupakan wilayah Sumahan. Wilayah Sumahan adalah daerah yang dijadikan barang mahar waktu perkawinan Raja Kutai bernama Aji Batara Agung Paduka Nira ( 1350 - 1360 ) dengan Paduka Suri ( putri dari kepala pemerintahan wilayah Bengalon ) Disebutkan bahwa putri Bengalon meminta " membilang kersik sebokor, membilang karang selanjung, membilang daun rinding yang bergerak ". Aji Batara Agung Batara Nira menyetujui dengan menyebutkan bahwa " mana-mana yang mendengar Petong ini meletop, itulah sumahannya, mana-mana yang tidak mau menurut itu katakan kepada aku, akulah lawannya dan lagi orang Bengalon hingga jenangku sampai di anak cucuku hingga bersahabat saja dengan anak cucuku. Mana-mana yang menjadi raja di negeri Kutai inilah perjanjian Kutai dengan Bengalon sampai hari ini tiada memberi upeti ke Kutai Kartanegara sebab sumuhannya belum habis dibayar. Jika susah Bengalon susah juga Kutai, dan jika susah Kutai susah juga Bengalon sampai sekarang ini.
Dan pada akhirnya Putri Bengalon dijadikan Paduka Ratu dari Kerajaan Kutai Kertanegara. wilayah Bengalon dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang takluk kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Wilayah yang disebutkan sebagai Sumahan itu terletak antara sungai Sangatta (dari muara hingga ke hulu) di sisi selatan dan sungai Kaliorang dari muara hingga hulu, sisi barat adalah pegunungan (dekat degan dua hulu tersebut), serta sisi timur adalah selat Makassar, dapat dibayangkan bahwa wilayah tanah Sumuhan Bengalon itu terdapat di hampir seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur. Tanah di Bengalon secara historis merupakan tanah pusaka dari Kerajaan Kutai Kartanegara. hanya saja Bengalon yang merupakan tanah Sumuhan memiliki keistimewaan, tanah ini tidak membayar upeti kepada kerajaan. wilayah Bengalon terkenal dengan banyaknya hasil komoditas dan hasil bumi, hasil bumi ini juga yang akan dibawa ke Kutai Kartanergara pada waktu Upacara Erau. Bengalon juga mendapat keistimewaan untuk mengadakan Upacara Erau namun lingkupnya agak kecil dan sederhana, kegiatan upacara Erau Bengalon mirip dengan Upacara Erau Kutai Kartanegara.

Rabu, 22 Mei 2013

ASAL USUL NAMA SANGATTA

Dalam sejarah masyarakat Kutai Timur tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sejarah perkembangan Kerajaan Kutai Kartanegara, Berdasarkan tradisi lisan masyarakat, istilah Sangatta pernah disebut dalam cerita Aji Pao, Aji Pao adalah bangsawan Kutai yang berasal dari suku  Bugis dan mendapat gelar kehormat "Aji" dari Sultan Kutai. Selain mendapat gelar juga mendapatkan wilayah yang dapat dipergunakan untuk lahan pertanian, perburuan, dan sekaligus tempat permukiman beserta pengikut-pengikutnya.
Menurut legenda, Aji Pao memiliki etos kerja yang tinggi dan pantang menyerah, tokoh yang berwawasan luas dan berkeinginan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang didasari asas kekeluargaan, kebersamaan dan kegotongroyongan,
Menurut cerita rakyat, dalam perjalanan menuju wilayah yang diberikan oleh Raja Kutai, Aji Pao beserta pengawal dan pengikutnya menemukan aliran sungai yang dihuni oleh makhluk halus yang disebut atau digelari SANG. Ditempat tersebut terdapat tiga makhluk halus atau tiga SANG, yaitu SANG ATTAK sebagai penjaga anak sungai api-api, SANG KIMA yang menjaga anak aliran sungai Sangatta yang bercabang menjadi dua, dan SANG ANTAN yang juga menjaga sungai api-api yang sekarang disebut Sungai Santan.

Selasa, 16 April 2013

LOMBA CIPTA KARYA LAGU DAERAH KUTAI TIMUR




LATAR BELAKANG
Lagu-lagu daerah merupakan warisan nilai luhur budaya bangsa yang kini terancam terpinggirkan oleh lagu komersil terutama yang bernuansa cinta. Program acara televisi nasional di Tanah Air juga belum optimal menayangkan program musik bernuansa kedaerahan. Untuk melestarikan lagu-lagu daerah di Nusantara maka digelar sebuah annual event yaitu Lomba Karya Cipta Lagu Daerah Kutai Timur.
  Perhelatan Lomba Karya Cipta Lagu Daerah Kutai Timur ini bertujuan untuk menumbuhkan lagu berbahasa daerah khusus Kutai Timur. Lomba ini juga diharapkan dapat membawa lagu-lagu pop daerah yang diaransir secara profesional sehingga enak didengar dan dinikmati.
  Perlombaan ini juga memberi kesempatan bagi kalangan remaja yang memiliki bakat untuk unjuk kebolehan di bidang seni suara dan seni musik. Dengan ini pula para musisi dan koreografer daerah untuk berkesempatan menampilkan kreativitasnya di tingkat lokal maupun di tingkat propinsi bahakan ke tingkat nasional.
  Lomba Karya Cipta Lagu Daerah Kutai Timur diharapkan ke depan dapat menggema dengan kemasan apik dan profesional termasuk disiarkan di stasiun televisi lokal. Secara tidak langsung pemenang nantinya mendapatkan kesempatan untuk mempromosikan kebudayaan daerah dan pariwisata daerahnya melalui berbagai event yang sesuai.

JUKNIS PESERTA LOMBA CIPTA &
KARYA LAGU DAERAH KUTAI TIMUR

I.  Peserta lomba berasal dari unsur perorangan atau kelompok, dengan mengirimkan identitas Peserta sebagai berikut :

  1. Lembar Biodata disertai 2 buah pas photo berwarna ukuran 4 X 6, dan 1 buah foto copy KTP / Kartu Pengenal
  2. Lagu yang dikirimkan adalah lLgu ciptaan sendiri ( orisinil ), bukan saduran atau tiruan, dan belum pernah diproduksi atau dipasarkan dalam bentuk kaset, VCD, dsb.
  3. Tiap peserta berhak mengirimkan lagu ciptaannya maksimal sebanyak 2 buah lagu untuk katagori lagu Kutai dan atau 2 buah lagu Dayak.


II.  KRITERIA LAGU & ALAT MUSIK

  1. Lagu dan lirik bebas namun disesuaikan dengan karakteristik daerah Kutai Timu
  2. Lagu dan lirik bisa bersifat mendidik, bernuansa promosi pariwisata, keindahan alam, dan nasionalisme
  3. Lirik dibuat dalam bahasa Dayak atau Kutai, disertai dengan terjemahan
  4. Lagu bersifat hiburan dengan irama lagu bebas (tradisi, pop, campursari, langgam dan lain lain), tidak menyinggung SARA, tidak terkait dengan partai/politik, tidak berhubungan dengan produk tertentu dan tidak berbau pornografi.
  5. Alat musik pengiring yang digunakan minimal berupa gitar, dan maksimal 5 orang pemain musik.
  6. Durasi lagu tidak lebih dari 5 menit
  7. Peserta menyiapkan penyanyi dan pengiring masing-masing, dan panitia pelaksana tidak menyiapkan pengiring, namun panitia hanya menyiapkan alat musik keyboard
  8. Syair dan nada lagu asli, belum pernah di arransemen oleh pencipta/musisi lain
  9. Naskah lagu ditulis dengan tulisan tangan ( tinta hitam ) atau di ketik dengan atau tanpa not balok / not angka.
  10. Naskah lagu ditanda-tangani di atas meterai Rp. 6.000,- format disiapkan oleh panitia


III.  PENGIRIMAN NASKAH LAGU & KASET/ CD
1.    Dikirim selambat-lambatnya ( stempel pos ) tanggal ........ 2013.
2.    Dikirim dalam satu paket ( amplop ) yang terdiri dari :
  • Identitas Peserta
  • Naskah lagu sebanyak 2 rangkap,yaitu 1 lembar Naskah asli dan   2  lembar foto copy.
  • Kaset rekaman lagu, yaitu 2 buah kaset lagu/CD kategori lagu Dayak dan atau 2 buah kaset lagu/CD katagori Kutai ( bila ada ).

3.  Pada sudut kiri amplop ditulis : “Lomba Cipta Lagu Daerah Kutai Timur”.

VI.    HAK PEMENANG LOMBA & HAK PANITIA LOMBA
  1. Pemenang lomba berhak memperoleh hadiah sebagai berikut :
  • Hadiah uang dengan jumlah total sebesar Rp.................. -
  • Piagam dan Piala tetap untuk Juara I-II-III dan Juara Harapan I-II.
  • Menerima dua buah kaset/VCD 10 lagu terbaik.
  • Penyerahan Hadiah akan dilakukan pada saat launching Kaset / VCD lagu terbaik waktu dan tempatnya akan ditentukan kemudian

  2.   Panitia Lomba berhak mengambil langkah keijaksanaan sebagai  berikut :
  • Mengajukan perbaikan judul lagu dan penyesuaian lirik dengan sepengetahuan pencipta                        
  • Menentukan musisi/arranger untuk melaksanakan produksi kaset sampai selesai
  • Merekrut Dewan Juri sebagai Tim Penilai dengan ketentuan bahwa Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat
  • Menentukan penyanyi dan penata musik untuk membawakan 10 lagu terbaik.
  • Mengalihkan Hak Edar 10 lagu terbaik menjadi milik Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kutai Timur dan Hak Cipta tetap melekat pada pencipta lagu